|
Orang Beragama Belum Tentu Baik |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Oleh : Arvan Pradiansyah
Dalam sebuah acara Life Excellence di Radio Trijaya beberapa waktu yang lalu, saya mengangkat sebuah topik panas berjudul, “Orang Beragama atau Orang Baik?” Waktu itu saya membahas fenomena menarik, yaitu mengenai banyaknya orang beragama yang ternyata tidak baik. Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak beragama atau tidak menjalankan agamanya dengan baik, tetapi dalam kehidupan sehari-hari adalah orang yang baik. Acara ini mendapatkan banyak respons dari pendengar baik melalui telepon maupun SMS. Banyak yang mendukung, tapi beberapa SMS mengecam bahkan memaki-maki saya.
Padahal saya tidak sedang mempromosikan bahwa kita sebaiknya tidak perlu beragama asalkan sudah bisa menjadi orang yang baik. Saya hanya ingin mengajak kita berpikir mengapa agama seolah-olah tidak berhasil membuat penganutnya menjadi orang yang baik. Mengapa Indonesia yang dikenal sangat religius sekaligus juga dikenal sebagai negeri terkorup di dunia? Mengapa kita juga memperoleh predikat nomor dua untuk pornografi dan nomor tiga untuk masalah narkoba?
Padahal kalau dipikir-pikir apa sih kekurangan kita. Kita shalat dan bukankah shalat dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar? Kita berpuasa dan bukankah puasa mestinya menghasilkan manusia-manusia yang takwa? Jemaah haji kita terbesar jumlahnya di dunia, dan bukankah haji seharusnya melahirkan agent of change? Namun mengapa kita malah menjadi sarang korupsi, narkoba dan pornografi?
Setelah merenungkannya dengan mendalam, saya menemukan paling tidak tiga kesalahan pokok dalam memaknai agama. Pertama, agama sering disosialisasi dalam bentuk ritual semata. Sejak kecil kita belajar shalat, menghafal bacaan dan belajar gerakannya. Yang kita lupakan cuma satu, yakni: kita tak pernah diajarkan mengenai mengapa kita harus shalat. Hal yang sama juga terjadi pada anak saya yang sekarang sedang duduk di sekolah dasar.
Kedua, agama sering diartikan sebagai sebuah ”kewajiban” yang bila melakukannya akan diganjar pahala dan surga, sedangkan mengabaikannya akan diganjar dosa dan neraka. Padahal kata ”kewajiban” sering pula bernuansa buruk. Kewajiban memberikan konotasi paksaan kepada orang untuk melakukannya. Kewajiban bersifat outside-in (dari luar ke dalam). Ini berbeda dari kebutuhan yang bersifat inside-out (dari dalam ke luar).
Padahal perubahan perilaku jauh lebih mudah pada sesuatu yang bersifat inside-out. Dalam inside-out orang melakukan sesuatu karena kesadaran. Dorongan terhadap hal ini berasal dari dalam. Selama agama masih dianggap sebagai kewajiban bukannya kebutuhan, akan sangat sulitlah untuk berharap bahwa agama bisa mengubah perilaku.
Kewajiban juga acap kali menjauhkan kita dari kenikmatan. Bayangkan seorang istri yang mengatakan bahwa ia melayani suaminya sebagai kewajiban. Menurut Anda, apakah wanita ini menikmati hubungan dengan suaminya? Saya yakin tidak.
Ketiga, agama sering ditafsirkan sebagai urusan kita dengan Tuhan. Padahal esensi agama adalah kasih. Bahkan saya berani mengatakan bahwa tanpa kasih tak ada gunanya kita beragama. Bukankah Tuhan adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Bukankah dalam agama mana pun senantiasa dikatakan, ”belum beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”?
Karena itu, orang beragama mestinya dikenal karena rasa cintanya kepada sesama manusia. Sayangnya hal ini sering terlupakan. Saya ingat pengalaman saya bersekolah di sebuah sekolah swasta Islam terkemuka di Jakarta awal 1980-an. Ketika itu porsi pelajaran agama di sekolah negeri adalah dua jam pelajaran per minggu. Sekolah saya jauh lebih maju karena pelajaran agamanya 8 jam. Namanya pun bukan pelajaran agama, tetapi langsung menggunakan nama yang spesifik: Tauhid, Fiqih, Tarikh Islam, dan Bahasa Arab. Namun sayangnya ada satu hal yang tidak diajarkan: Akhlaq (Budi Pekerti).
Bahkan kalau pun ada pendidikan budi pekerti di sekolah, pendidikan itu lebih sering bermuatan pengetahuan (knowledge). Padahal perubahan perilaku lebih ditentukan oleh kesadaran ketimbang pengetahuan. Siapa pun tahu bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Akan tetapi, cukupkah pengetahuan itu membuat orang berhenti merokok? Tentu saja tidak.
taken from : SWA
Labels: Arvan Pradiansyah |
posted by .:: me ::. @ 12:30:00 PM |
|
|
|
:: My Profile :: |
... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...
Join me on
Friendster!
|
:: Wisdom :: |
|
:: Recent Post :: |
|
:: Archives :: |
|
:: Menu :: |
|
:: LETTO Fans Blog :: |
|
:: NIDJIholic Blog :: |
Click Slide Show
|
:: Friends :: |
|
:: Games :: |
| |