:: Sponsored ::


:: Statistic ::


Web Page Counter
Since 25.01.2006
Since 17.Aug.2005

visitor online

:: MP3 Player ::
Tam's MP3 Player
:: Tam's IndoHitz ::
:: Quotation ::
:: Blog Map ::
My Location
:: The Story ::


Osama, Obama, Olala
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh: Gede Prama
Sumber: Kompas, 10 April 2010

Mungkin sudah jadi kebiasaan tua manusia untuk bikin stigma. Bila orang terlihat cocok dengan kriteria, ia disebut baik. Tatkala tidak cocok, buruk judulnya. Perang, pertempuran, pertengkaran, semuanya bermula dari sini. Yang disebut baik jadi kawan, yang disebut munafik jadi lawan.

Padahal, dari segi yang bersangkutan lain lagi. Teroris dan orang-orang seperti 0sama bin Laden sebagai contoh juga menyebut dirinya baik. Bahkan, ada yang menyebut diri sedang berperang membela Tuhan.

0rang-orang yang dinobatkan dunia sebagai orang baik (Presiden Amerika Serikat Barack 0bama sebagai contoh karena diberi hadiah Nobel Perdamaian), jangan-jangan memiliki keraguan, apakah layak disebut baik. Buktinya, ia perlu waktu lama untuk memutuskan mengirim pasukan ke Afganistan atau tidak. Dan ujungnya semua sudah tahu, ribuan tentara dengan tidak terhitung senjata dimasukkan ke Afganistan.

Perhatikan percakapan keseharian orang Indonesia beberapa tahun terakhir. Dari cicak-buaya, Century, sampai dengan makelar kasus (markus). Mana berita mana cerita rekayasa, mana wacana mana propaganda, mana hasil penelitian mana rekayasa penjualan, semuanya campur aduk. Bagi yang sentimen akan menyebut mafialah yang melakukan, bagi yang diuntungkan akan mengatakan semuanya baik-baik saja. Ini tidak saja terjadi di negara berkembang, bahkan negara yang telah mengenal peradaban lebih dulu, seperti Inggris (sebagaimana ditulis Norman Fairclough dalam Discourse and social change), juga mengalami.

Begitulah dunia dan dinamikanya. Kalau dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kehidupan manusia (tanpa disadari sepenuhnya) berlaku rumus sebaliknya: peta (cara memandang) menentukan bentuk wilayah yang dilihat (pemahaman).

Kehidupan nyanyian

Karena tahu bahaya dikacaukan pikiran, penekun kejernihan memilih terserap dalam-dalam (menyatu) dengan kekinian, kemudian mendengarkan kehidupan sebagai nyanyian (”0lala”). Nyanyian kehidupan serupa langit, ada saatnya terang benderang cerah bercahaya (baca: bersih jernih). Ada kala kelam ditutupi awan gelap (kesedihan). Di waktu lain, langit dibungkus awan putih (kebahagiaan). Namun, awan gelap tak membuat langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apa pun yang terjadi, langit tetap biru. Dalam meditasi, ini disebut pencerahan.

Ciri pertama, batin sudah bangun dari tidur panjang (the awakened mind). Terlalu lama batin tidur lelap bersama gonjang-ganjing pikiran. Seolah-olah gonjang-ganjing pikiran itulah kehidupan. Ciri kedua, muncul rasa lapar untuk berbakti kepada yang di atas (devotion), serta berbagi welas asih kepada semua makhluk (infinite compassion). Bagi yang telah sampai di sini mengerti, kebahagiaan tak melakukan penambahan, kesedihan tak melakukan pengurangan. Demi kasih sayang kepada semua makhluk, nyanyian suci kehidupan tetap harus didendangkan.

Jalalludin Rumi punya puisi bagus sekali: ”Kehidupan serupa tinggal di losmen. Setiap hari tamunya berganti. Tapi siapa pun tamunya, jangan lupa selalu tersenyum”. Thich Nhat Hanh menyebut keadaan batin seperti ini present moment wonderful moment. Bila manusia kebanyakan hanya berbahagia jika menjadi majikan, Santo Fransiscus dari Asisi justru damai tatkala menjadi pelayan. Dalam bahasa kebanyakan, orang-orang seperti ini disebut ”berkorban”. Namun, bagi yang melaksanakan, mereka merasa damai sekali menjaga keseimbangan alam. Kadang disebut menyatu dengan nyanyian alam. Di tengah miliaran manusia yang hanya mau menang, harus ada yang mengambil kekalahan. Dalam arus zaman yang mengagungkan kemewahan, harus ada yang mengenakan baju kesederhanaan. Ketika kehidupan bergejolak seperti samudra keriuhan, mesti ada yang istirahat dalam keheningan.

Inti jalan ini hanya satu, melihat, melakoni, mengakhiri kehidupan dengan keindahan. Inilah kehidupan sebagai kidung (nyanyian) suci. Dalam bahasa orang Hindu, ia disebut Satchittananda. Siapa saja yang senantiasa terserap jadi satu ke dalam kekinian, ia akan melihat keindahan di mana-mana.

Makanya tetua Jawa (ditiru tetua Bali) di pekarangan rumahnya sering menanam sawo kecik. Dalam bahasa Bali diterjemahkan menjadi sarwa becik (semuanya baik). Harapannya agar setiap manusia yang bertumbuh di rumah bisa melihat bahwa semuanya baik. Karena demikianlah, orang-orang yang memperlakukan kehidupan sebagai nyanyian suci mengisi kesehariannya dengan praktik kesadaran dan keindahan. Bangun tidur sebagai contoh, dimulai dengan bergumam pelan: ”Hidup adalah sebuah pilihan lengkap dengan konsekuensinya. Bila memilih kemarahan, penderitaan akibatnya. Jika mengisi kehidupan dengan welas asih, maka kebahagiaan hadiahnya”.

Membuka pintu sebagai contoh lain, kelompok ini akan melafalkan renungan: ”Pikiran berisi terlalu banyak burung riuh bernyanyi. Tuhan ditabrakkan dengan setan, orang baik dimusuhkan dengan orang munafik. Dengan membuka pintu ini, biarlah burung-burung riuh itu lepas ke angkasa. Menyisakan batin sunyi-sepi yang menyentuh hati”. Bila dilanda sial, ia akan memanggil guru di dalam diri: ”Guru terima kasih terus-menerus membimbing. Dalam sukacita guru sedang memotivasi. Dalam dukacita guru sedang mengajarkan untuk selalu rendah hati”.

Dalam kehidupan yang diisi praktik kesadaran mendalam, semua tempat jadi tempat suci. Semua suara (termasuk pujian dan cacian) jadi mantra suci. Semua ciptaan jadi makhluk suci.

Sebagai hasil dari praktik mendalam seperti ini, manusia tak saja bisa tersenyum dengan bibir, juga bisa tersenyum dengan mata (baca: memandang semua dengan senyuman). Kadang ada yang menyebutnya memandang kehidupan dengan pandangan mendalam karena penuh pengertian dan permakluman. Hidup sesungguhnya serangkaian kidung suci. Cuma, semakin lama semakin sedikit yang menyanyikan kidung suci kehidupan. Dan di tengah hamparan samudra tangisan di mana-mana (bencana alam, bom teroris, bunuh diri, kriminalitas, korupsi, dan lain-lain), alangkah menyejukkan bila sebagian pojokan kehidupan mendendangkan nyanyian.

Gede Prama, Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering into the Ultimate Healing

Labels:

posted by .:: me ::. @ 4:01:00 PM   0 comments

Kura-kura Belajar Berlari
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh: Andrie Wongso

Alkisah, di tepian sungai sebuah hutan, tampak seekor kura-kura sedang berjalan di sana. Mendekatlah sahabatnya, seekor pelanduk.

“Hai kura kura, apa kabar pagi ini?”

“Hai juga pelanduk. Yah…beginilah aku. Jalanku lambat dan tidak mungkin bisa berlari secepat dirimu,” jawab si kura-kura dengan suara iri.

Si pelanduk melanjutkan berkata, “Sobat, seiisi hutan sedang resah saat ini. Raja hutan sedang mengerang kelaparan dan mulai mencari mangsa. Duh, giliran siapa ya yang akan menjadi santapannya kali ini? Jujur saja, aku kasihan kepadamu! Jalanmu begitu lambat, pasti akan menjadi korban empuk bagi sang raja.”

Dengan suara memelas si kura-kura berkata, “Sobat, tolong ajari aku cara berlari cepat seperti kamu agar aku bisa menyelamatkan diri bila hendak dimangsa oleh raja hutan.”

Si pelanduk setuju dan sejak saat itu, si kura-kura rajin berlatih berlari cepat seperti yang diajarkan oleh pelanduk.

Hingga suatu hari, sang raja hutan berada tak jauh dari si kura-kura. Melihat jalan si kura-kura yang (menurutnya) aneh, si raja hutan hanya mengikuti sambil mengeluarkan suara erangan dan mempermainkannya dengan kuku kakinya. Lalu, karena ketakutan yang luar biasa, si kura-kura akhirnya menghentikan usaha berlarinya. Diapun menarik seluruh anggota tubuhnya ke dalam tempurung, terdiam memejamkan mata dan pasrah kepada nasib—menunggu eksekusi dari si raja hutan.

Tempurung kura-kura yang diam seperti batu bukanlah benda yang asyik untuk dimainkan, juga bukan barang yang nikmat untuk dimakan. Maka, tidak lama kemudian si raja hutan pun meninggalkan kura-kura.

Monyet di atas pohon pun berteriak nyaring ke kura-kura, “Hai kura-kura, bangunlah!! Bahaya sudah berlalu!”

Serasa tidak percaya, si kura-kura perlahan menjulurkan kepalanya melihat ke arah monyet, “Huah, aku selamat!”

“Benar, engkau selamat! Engkau sungguh hewan yang sangat beruntung karena tempurung perlindunganmu menempel di tubuhmu. Jika ada bahaya mengancam, engkau tidak perlu lari cepat-cepat seperti kami! Maka, tidak perlu belajar berlari cepat seperti pelanduk atau memanjat pohon seperti kami. Karena sesungguhnya setiap makhluk hidup memiliki kelebihan dan kekurangnya masing-masing.”

Sambil tertunduk malu si kura menjawab, “Ya, benar! Sobat, terima kasih atas nasihatmu. Sekarang aku tahu, tidak ada yang perlu disesali karena menjadi seekor kura-kura. Tidak harus menjadi seperti makhluk lain. Ternyata, aku juga makhluk yang memiliki kelebihan istimewa, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya!”

Setiap orang yang dilahirkan di dunia ini pasti punya manfaat! Juga, pasti memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh orang lain. Namun, kalau kita hanya berfokus pada kelebihan orang lain atau pada kelemahan diri kita sendiri, maka keyakinan dan kepercayaan diri kita sulit dikembangkan.

Untuk itu, kita perlu mengenal serta mengembangkan kekuatan/kelebihan kita.

Saya percaya, sekecil apapun kemampuan kita pada awalnya, namun kalau kita fokus dan penuh kesungguhan hati dalam mengembangkannya, lambat laun keyakinan dan kepercayaan diri kita akan tumbuh dengan sehat, serta membawa kita pada kemenangan dan kesuksesan!!

Labels:

posted by .:: me ::. @ 8:25:00 PM   1 comments

Kuasa, Kisruh, Jernih
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh: Gede Prama

Bila menoleh ke tahun 2009, mungkin layak menyebutnya dengan tahun kekisruhan. Negeri ini kisruh oleh kisah cicak-buaya, cerita korupsi Bank Century.

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun lalu ditandai perobekan piagam PBB oleh Presiden Libya Moammar Khadafi, diikuti teriakan protes keras Perdana Menteri (PM) Inggris Gordon Brown sambil berdiri. PM Italia Silvio Berlusconi dilempar patung sehingga mukanya berdarah. Mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush pernah dilempar sepatu. Merenung di atas sejarah seperti ini, kekuasaan seperti tidak habis-habisnya menghasilkan kekisruhan.

Meminjam penghitungan perputaran waktu di beberapa tradisi, putaran waktu kali ini adalah putaran waktu yang gelap. Oleh karena itu, terjadi kekacauan kosmik di mana-mana. Tempat-tempat di mana dahulunya turun kesejukan berupa wahyu dan nabi (India, Pakistan, dan Timur Tengah) sekarang menjadi tempat membara oleh perang. Lembah Swat di Pakistan adalah salah satu tempat langka yang menyimpan kisah langka, di situ sekitar seratus ribu manusia pernah mengalami pencerahan secara bersamaan. Sekarang, Lembah Swat berdarah-darah oleh tembakan senjata.

Dengan demikian, jangankan kekuasaan yang dari dulunya sudah kotor, berdarah, dan menakutkan, tempat-tempat di mana cahaya penerang itu pernah turun pun menakutkan. Memang, kadang lahir wajah kekuasaan yang membawa kelembutan. Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Mohammad Hatta, dan Dalai Lama hanya sebagian contoh. Namun, sebagian kekuasaan tergelincir ke dalam kegilaan seperti Ferdinand Marcos dan Hitler, sehingga memberi pilihan kepada setiap pemimpin yang sedang berkuasa, akankah dibikin mulya atau dibikin gila oleh kekuasaan?

Sunyi yang mengabdi

Kendati lahir di tempat dan waktu berbeda, ada yang sama di antara pemimpin yang dibikin mulya oleh kekuasaan, yakni batinnya Brahmana, badannya Ksatria. Setelah melewati kesalehan asketik yang keras, puncak perjalanan seorang Brahmana tercapai ketika batin seseorang telah mencapai apa yang disebut tetua di Jawa sebagai suwung. Tidak ada keakuan, ketakutan, keinginan, apa lagi kerakusan yang tersisa. Semuanya lenyap ditelan suwung . Seperti ruang yang memberi tempat bertumbuh pada apa saja dan siapa saja. Kendati terlihat tidak ada apa-apa, tetapi ruang melimpahkan kasih sayang secara tidak terbatas.

Karena ada ruang, maka cahaya matahari bisa melaksanakan tugasnya, pohon bertumbuh, manusia menjadi lebih dewasa. Begitulah batin yang suwung . Ia kerap disebut mengetahui yang satu kemudian membebaskan semuanya. Karena ketidakterbatasan kasih sayangnya itulah yang menyebabkan mereka dikenang jauh lebih lama dari umur badannya.

Namun, dalam badan ksatria (setelah melewati disiplin ketentaraan yang ketat), kaki selalu melangkah tegap tanpa tersisa sedikit pun ketakutan, tangan selalu siap menembak tanpa sedikit pun keraguan. Tak ada tempat bagi keragu-raguan. Keragu-raguan hanya cermin batin belum suwung . Diterangi batin yang suwung, kemudian pemimpin bisa memutuskan apa saja yang harus diputuskan tanpa beban.

Ksatria yang bertindak cepat tanpa dibimbing oleh batin yang suwung , serupa dengan tentara yang menembak kesetanan ke segala arah. Pemimpin Brahmana yang suwung tanpa disertai oleh kesigapan dan kecepatan bertindak hanya akan menjadi tukang doa yang salah alamat. Karena bukan untuk itu dia lahir. Pemimpin dilahirkan untuk bertindak, biar segala macam bentuk kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan segera bisa dikurangi.

Intisari kepemimpinan

Makanya, seorang ayah pernah berpesan kepada putranya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi. Dalam pandangan langit (baca: suwung ), semuanya dipayungi dan dilindungi tanpa mengenal pengotak-ngotakan. Namun, dalam bertindak, laksanakan hukum bumi secara ketat: bila menanam ketela dapatnya ketela, menanam kelapa buahnya kelapa. Siapa yang korupsi akan dicaci, ia yang mengabdi akan dihormati. Itu sebabnya tetua menyaring intisari kepemimpinan dalam kalimat sederhana: batin yang sunyi, badan yang mengabdi.

Pesan ini yang dibadankan secara mendalam oleh pemimpin seperti Mohammad Hatta, Nelson Mandela, dan HH Dalai Lama. Tatkala berselisih paham dengan atasannya, tanpa beban Pak Hatta kembali ke profesinya yang semula sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada. Menyisakan pesan jelas sekali, keegoan dan keakuan pemimpin mesti kalah dibandingkan ketertiban dan kesejahteraan rakyat.

Ketika rezim kulit putih jatuh, Nelson Mandela yang dipenjara lebih dari seperempat abad plus nyaris mati berkali-kali, lebih memilih memaafkan dibandingkan mengumbar dendam. Pelajarannya terang sekali, kekuasaan bukan sarana untuk mengumbar dendam dan keserakahan. Namun, hanya kendaraan untuk meninggalkan pulau keterbelakangan.

HH Dalai Lama lahir dan bertumbuh di lahan penuh kesedihan dan penderitaan. Umur belasan tahun, negaranya diambil orang. Mengungsi di tempat amat sederhana di India Utara lebih dari setengah abad. Rakyatnya menjadi minoritas di negeri sendiri. Ketika melafalkan doa ini, beliau sering menangis di depan umum: semasih ada ruang, semasih ada makhluk, izinkan saya terus-menerus lahir ke tempat ini, biar ada yang membimbing para makhluk keluar dari kegelapan kemarahan, keserakahan, dan kebingungan.

Cahaya pengertiannya terang sekali, kesedihan dan penderitaan bukanlah api untuk mengobarkan amarah ke mana-mana. Ia hanya sapu pembersih yang membuat hati manusia semakin jernih dari hari ke hari. Andaikan suatu hari nanti peradaban bisa melahirkan pemimpin dengan batin yang sunyi dan badan yang mengabdi mungkin di situ baru kekuasaan bisa menjadi sahabatnya kejernihan.

Kompas 30 januari 2010
Gede Prama Penulis Buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan

More Gede Prama's Articles

Labels:

posted by .:: me ::. @ 11:44:00 AM   0 comments
:: My Profile ::

... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...




Join me on Friendster!

Chat 

With Me
:: Wisdom ::

When we succeed, we are thankful. When we fail, we are also thankful.
The happiness and wealth are in the thankful attitude itself.
[Saat sukses kita bersyukur. Saat gagalpun kita bersyukur.
Sesungguhnya kebagiaan dan kekayaan sejati ada pada rasa bersyukur.]"

Love and attention is power! If all us are willing to share love and attention towards people arounds us, then life will be happier and more meaningfull.
(Cinta dan perhatian adalah kekuatan! Jika setiap hari kita mau memberikan cinta dan perhatian kepada orang-orang di sekeliling kita hidup akan lebih bermakna).

Terkadang manusia terlebih dahulu tenggelam dalam keputusasaannya.
Dengan emosinya mereka mengatakan bahwa masalah yang mereka hadapi sangatlah berat.
Sesungguhnya jika mereka yakin dengan usaha mereka, niscaya Tuhan pasti menjawabnya.

Salah satu cara yang paling efektif untuk memperbaiki diri adalah dengan mengingat dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan.
Karena mungkin saja kesempitan yang dialami saat ini adalah buah dari kesalahan masa lalu dan kita belum memohonkan ampun kepada Allah.

The future is not a result of choices among alternative paths offered by the present, but a place that is created – created first in the mind and will, created next in activity.
The future is not some place we are going to, but one we are creating. The paths are not to be found, but made, and the activity of making them, changes both the maker and the destination.[John Schaar].
:: Recent Post ::
:: Archives ::
:: Menu ::
:: LETTO Fans Blog ::
:: NIDJIholic Blog ::

Click Slide Show
:: Friends ::
:: Games ::
:: Powered By ::

BLOGGER
2006, Ver. 4.0, Design by: Tamtomo~ Email: TamtomoMail~ Please Send Your Comment About Our Blog