:: Sponsored ::


:: Statistic ::


Web Page Counter
Since 25.01.2006
Since 17.Aug.2005

visitor online

:: MP3 Player ::
Tam's MP3 Player
:: Tam's IndoHitz ::
:: Quotation ::
:: Blog Map ::
My Location
:: The Story ::


Sebuah Definisi Cinta
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh : Arvan Pradiansyah

Dua sahabat wanita bertemu sesudah bertahun-tahun terpisah. “Bagaimana kabar putramu?” tanya yang satu.
”Putraku? Kasihan dia!” jawab yang lain mengeluh. ”Ia menikah dengan seorang gadis yang tak mau bekerja sedikit pun: tak mau memasak, mencuci dan membereskan rumah. Yang dilakukannya hanya makan dan tidur. Anakku yang malang bahkan harus mengantar sarapannya ke tempat tidur. Apa kamu bisa percaya itu?”

”Kasihan! Dan bagaimana putrimu?”
”Oh, ia itu sungguh beruntung! Ia menikah dengan malaikat yang tak membiarkannya mengerjakan apa pun. Ia punya banyak pembantu untuk memasak, mencuci dan membereskan rumah. Dan setiap pagi suaminya mengantarkan sarapan ke ranjang. Yang ia kerjakan hanyalah tidur, beristirahat dan bersantai-santai sepanjang hari.

Para pembaca yang budiman, apa pendapat Anda mengenai cerita di atas? Ternyata, sesuatu yang persis sama dapat dilihat dari sudut pandang yang sama sekali berbeda tergantung pada posisi dan kepentingan kita sendiri. Kita memang cenderung mementingkan diri sendiri dan selalu melihat sesuatu dari kepentingan kita. Bahkan, baik- buruk suatu peristiwa sangat tergantung pada terganggu-tidaknya kepentingan kita. Inilah sumber segala permasalahan yang kita hadapi.

Perubahan yang besar, revolusioner dan menakjubkan akan terjadi begitu kita mampu melihat sebuah masalah dari sudut pandang orang lain, terutama dari sudut pandang pihak-pihak yang berseberangan dengan kita. Inilah definisi saya mengenai cinta. Menurut saya, cinta adalah kemampuan kita melihat dari sudut pandang orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain, bahkan menghayati suasana kehidupan orang lain.

Definisi ini sangat sederhana, tetapi amat sulit dipraktikkan. Yang pertama harus kita kalahkan adalah ego. Kita sering menganggap penderitaan kita sebagai masalah terpenting di dunia. Misalnya, Anda sedang menderita sakit gigi, sementara di saat yang bersamaan banyak orang yang tertimpa musibah banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya. Pertanyaannya, masalah apakah yang menurut Anda paling penting? Tentu, sakit gigi Anda, bukan?

Jadi, pertama-tama, kita harus menyadari kecenderungan kita yang selalu menganggap masalah kita sendiri sebagai masalah terpenting. Hal ini tak akan pernah melahirkan cinta. Cinta hanya dapat lahir dari kesadaran bahwa masalah yang dihadapi orang lain juga amat sangat penting. Kita harus mampu merasakan, menyelami dan menghayati situasi orang lain. Kemampuan inilah yang saya sebut dengan cinta.

Kalau Anda memiliki masalah dengan bawahan, cobalah bayangkan diri Anda yang berada pada posisinya. Pasti Anda akan menemukan berbagai kejutan yang mencerahkan. Suatu pekerjaan yang sangat sederhana bagi Anda, bagi bawahan mungkin membutuhkan waktu berjam-jam untuk memikirkannya. Kalau Anda memiliki masalah dengan atasan, cobalah tempatkan diri Anda di posisinya. Boleh jadi, atasan Anda sedang menghadapi tekanan yang hebat dari atasannya lagi yang membuatnya begitu tertekan.

Kalau Anda memiliki masalah dengan pasangan, cobalah bayangkan kalau Anda bertukar posisi. Lihatlah masalah dari sudut pandang pasangan Anda. Saya yakin, Anda akan lebih menghargai, mencintai dan memaafkannya. Begitu juga dengan pembantu Anda di rumah. Beberapa waktu lalu, pembantu saya kehilangan saudaranya yang sangat ia sayangi yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Ia sangat bersedih, sebentar-sebentar air matanya menetes. Ia benar-benar merasa kehilangan dan sangat sulit memercayai kejadian tersebut. Saya bisa berempati, merasakan apa yang ia rasakan, dengan cara masuk ke dalam situasinya. Saya bukannya membayangkan apa yang terjadi bila salah seorang saudara saya meninggal dunia. Situasi seperti itu tidak pararel dan tidak akan seimbang dengan apa yang ia alami. Alih-alih, saya membayangkan diri saya yang sedang bekerja jauh dari rumah, di sebuah tempat yang relatif asing bagi saya. Saya merasakan betapa beratnya merasakan duka sendirian di perantauan, di mana kita tak memiliki kesempatan yang cukup untuk berbagi perasaan dengan orang-orang terdekat kita.

Dengan melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, kita akan senantiasa diliputi perasaan cinta dan belas kasih yang tak pernah putus. Kita juga akan merasa bahwa sesungguhnya – terlepas dari begitu besarnya perbedaan di antara kita – kita adalah satu. Kita benar-benar merupakan suatu kesatuan. Inilah yang disebut cinta dan inilah sebenarnya hakikat spiritualitas.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita menarik. Ini tentang seorang anak SD yang miskin bernama Joni yang hanya memiliki seorang sahabat di kelasnya. Joni sering diejek dan dihina teman-temannya. Suatu ketika menjelang ulang tahun Joni, sahabatnya membayangkan betapa hari itu akan merupakan hari yang paling menyedihkan bagi Joni. Betapa tidak, tak ada orang yang akan mengucapkan selamat ulang tahun. Tak ada kue ulang tahun, tak ada hadiah, tak ada yang peduli. Karena itu, si sahabat menceritakan hal ini kepada ibunya dengan harapan sang ibu dapat menolongnya.

Dan di hari berbahagia itu, sang ibu membuat kejutan. Ia muncul di pintu kelas anaknya sambil membawakan kue dengan lilin yang menyala, menyanyikan lagu ulang tahun kemudian menyalami Joni yang hanya tertegun meneteskan air mata menyaksikan kejutan tersebut. Berpuluh tahun kemudian peristiwa ini dikenang sahabatnya sebagai salah satu peristiwa yang paling indah dalam hidupnya. Ia mengatakan, ”Aku hampir tak bisa mengingat lagi nama teman-temanku yang ikut merayakan ulang tahun itu. Aku pun tak tahu lagi di mana Joni sekarang berada. Tapi setiap kali aku mendengar lagu yang sangat kukenal itu, aku ingat hari itu, saat nada-nadanya berbunyi sangat indah: di dalam suara Mama yang lembut, cahaya dalam mata seorang anak laki-laki dan kue yang paling manis.”

Sumber: http://www.swa.co.id

Labels:

posted by .:: me ::. @ 12:31:00 PM   0 comments

Berada di Sini, Saat Ini
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh : Arvan Pradiansyah

Dua astronot mendapatkan tugas melakukan penelitian di bulan. Ketika kembali ke bumi, salah seorang di antaranya menceritakan bagaimana ia harus menekan naluri seninya ketika sampai di sana.

Ia ingat ketika ia melihat kembali ke bumi dan tertegun oleh pemandangan itu. Beberapa saat ia berdiri terpaku dan berpikir, “Bukan main, sungguh indah!”

Namun, kawannya segera menyadarkannya dan berkata, “Jangan buang-buang waktu. Mari segera mengumpulkan batu!”

Cerita tadi sebenarnya menggambarkan apa yang kita alami sebagai manusia modern. Kita harus berpikir cepat dan bergerak cepat, bahkan kadang kita bergerak tanpa banyak berpikir. Moto kita adalah “lebih cepat, lebih murah, lebih baik”. Karena itu, berpikir, belajar, merenung, berkontemplasi dan rekreasi sering dianggap sebagai kegiatan yang menghabiskan waktu dan tidak produktif.

Hal ini akan menjadi berlipat ganda bagi para pengusaha, mereka yang terlibat dalam bisnis inti serta mereka yang menangani penjualan. Bisnis memang sering membuat kita berorientasi pada kegiatan. Kita berusaha sedapat mungkin supaya jangan ada sedikit pun waktu terbuang tanpa melakukan kegiatan. Kita terus berjalan, bergerak, mencari peluang, menembus pasar, mengalahkan pesaing dengan kecepatan yang bertambah dari hari ke hari.

Apakah semua itu memberikan hasil yang kita inginkan? Secara jangka pendek, mungkin ya. Namun, secara jangka panjang, Anda harus membayar harganya sangat mahal. Beberapa di antara Anda barangkali akan membantah keras pernyataan saya ini. Namun tunggu dulu, saya jelaskan apa yang saya maksud.

Harga pertama yang harus kita bayar adalah berkurangnya kemampuan kreativitas dan inovasi. Ini risiko yang terkait langsung dengan kegiatan bisnis itu sendiri. Kegiatan bisnis yang bertubi-tubi telah menyandera pemikiran kita. Kita jadi lupa meluangkan waktu sejenak untuk berpikir dan merefleksikan tindakan kita. Kita akhirnya hanya menjadi robot dari target-target kita. Kita hanya melakukan business as usual. Benar, kita menjadi sangat tangguh, disiplin dan memiliki motivasi yang tinggi. Akan tetapi, lama- kelamaan produk kita menjadi aus dan ketinggalan zaman. Makin cepat tidaklah akan menjadi makin baik kalau kita bergerak ke arah yang salah. Bisnis sering hanya memikirkan jam dan lupa memikirkan kompas.

Harga kedua yang harus Anda bayar adalah berkurangnya kebahagiaan dan kenikmatan dalam hidup Anda. Padahal, apa yang Anda cari di dunia ini: pekerjaan ataukah kebahagiaan? Di sini juga ada rumus menarik. Sementara bisnis identik dengan kecepatan, kebahagiaan justru identik dengan kelambatan. Jangan salah, yang dimaksud bukanlah kelambatan yang berarti lamban, lelet atau telmi. Kelambatan di sini adalah sikap hidup yang mantap, penuh dan tidak tergesa-gesa. Kelambatan adalah sesuatu yang sangat bermakna spiritual dan berkaitan dengan kebahagiaan hidup.

Agar bisa berbahagia, yang harus kita lakukan sebenarnya bukanlah berjalan lebih cepat, tapi justru berjalan lebih lambat. Di kantor-kantor yang sangat sibuk sekarang sudah ada kebiasaan melakukan lunch meeting, yaitu makan siang sambil rapat. Pertanyaannya, dapatkah mereka menikmati makan siang? Boleh saja Anda mengatakan bahwa yang penting perut Anda sudah terisi, tapi sebetulnya Anda kehilangan kenikmatannya. Yang Anda lakukan bukanlah menikmati makan siang, melainkan hanya menelan makanan.

source: swa


Labels:

posted by .:: me ::. @ 10:25:00 AM   0 comments

Cinta, Jangan Kau Pergi
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh : Arvan Pradiansyah

Sebuah foto yang sangat mengharukan terpampang di depan mata saya. Foto itu menggambarkan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan empat anaknya yang sedang berjalan dengan penuh kekhawatiran. Si ayah menggendong anaknya yang masih kecil, begitu pula dengan si ibu. Sementara kedua anaknya yang lain berpegangan erat pada tangan ayah dan ibunya sambil menenteng sebuah tas besar. Mereka harus melewati medan yang cukup berat di tengah gempuran pesawat dan rudal-rudal mutakhir yang siap menghajar siapa pun. Hidup mereka bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Keluarga ini sedang berjuang untuk bisa keluar dari Libanon di tengah keganasan serbuan tentara Israel yang siap membunuh siapa saja.

Dada saya terasa sesak menyaksikan pemandangan seperti ini. Saya begitu trenyuh dan tak terasa air mata mulai menetes. Saya seakan-akan sedang menyaksikan diri saya sendiri, keluarga saya, anak-anak saya yang berada dalam kondisi seperti itu. Agresi Israel ke Libanon meninggalkan begitu banyak luka dan kepedihan. Tentara Israel membombardir kota dan membunuh siapa pun yang mereka lihat. Mereka adalah orang-orang yang telah kehilangan belas kasih. Mereka telah menumpulkan hati mereka sendiri, dan tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk sebuah cahaya yang bernama cinta.

Sebuah pemandangan yang memilukan pernah pula direkam oleh kamera televisi pada saat terjadi agresi Amerika Serikat ke Irak tiga tahun yang lalu. Sepasang suami-istri menggendong kedua anak mereka yang terluka parah. Si adik telah meninggal dunia, sedangkan si kakak sedang sekarat. Kamera televisi pun mengabadikan pemandangan yang memilukan itu: saat-saat terakhir ketika si kakak mengembuskan napasnya yang terakhir dalam dekapan kedua orang tuanya.

Saya sering membayangkan, apa yang akan terjadi jika para pengambil keputusan di AS dan Israel kehilangan anak-anak, keluarga dan orang yang mereka cintai dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Mungkin hanya pengalaman semacam itulah yang hendak menyadarkan mereka mengenai betapa kejamnya perbuatan yang telah mereka lakukan. Mungkin hanya pengalaman semacam itulah yang hendak mengajarkan pada mereka mengenai arti dan hakikat cinta yang sesungguhnya.

Cinta senantiasa dimulai dengan berhenti memikirkan diri sendiri dan mulai memikirkan orang lain. Cinta hanya dapat ditumbuhkan dengan membayangkan diri kita ketika kita berada dalam posisi orang lain. Tanpa kemampuan seperti ini saya berani menjamin bahwa cinta tak akan pernah ada di dalam diri kita.

Labels:

posted by .:: me ::. @ 12:32:00 PM   0 comments

Si Ateis Melawan Si Bijak
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh : Arvan Pradiansyah

Suatu ketika terjadilah perdebatan antara seorang bijak dan seorang ateis. Supaya dapat memberikan manfaat bagi orang banyak, maka disepakatilah suatu hari di mana perdebatan itu akan dilangsungkan di alun-alun kota. Aturan mainnya cukup berat, yakni: siapa yang kalah harus rela dipenggal kepalanya.

Pada hari yang telah ditentukan, si ateis telah siap sejak pagi hari. Karena si bijak belum nampak juga, si ateis memulai pidatonya dengan mengemukakan semua argumennya untuk membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada. Ia pun mengatakan bahwa si bijak tak jadi datang karena takut kalah berdebat dan menghadapi hukuman penggal.

Namun menjelang tengah hari, si bijak hadir dengan tergopoh-gopoh. Ia dimaki oleh si ateis dari atas mimbar, ”Mengapa kamu terlambat?” Orang bijak menjawab, ”Sebetulnya saya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Tetapi seperti yang Anda ketahui, antara rumah saya dan tempat ini dihalangi sungai yang sangat besar. Sayangnya, tak ada kendaraan yang dapat menyeberangkan saya. Saya juga tak bisa berenang. Jadi saya menunggu di tepi sungai dan berdoa agar bisa datang tepat pada waktunya. Tiba-tiba saya melihat pecahan-pecahan papan tersebar di seluruh permukaan sungai. Pecahan-pecahan itu kemudian berkumpul satu sama lain dan akhirnya membentuk sebuah perahu, dan saya pun menaikinya.”

Mendengar hal tersebut segera si ateis berteriak, ”Ini sebuah kebohongan yang sangat menggelikan. Mana mungkin pecahan-pecahan papan dapat berkumpul dan membentuk perahu dengan sendirinya?” Orang bijak menjawab, ”Mana mungkin juga seluruh alam semesta ini berkumpul satu sama lain dengan sendirinya dan membentuk seluruh sistem yang sangat menakjubkan? Mana mungkin darah, daging dan tulang dapat berkumpul menjadi kamu?

Sebuah argumen yang luar biasa.
Argumen ini meruntuhkan semua teori si ateis dan membuatnya benar-benar tersudut.

Saya yakin kalau Anda berada dalam posisi si ateis, Anda pun akan langsung mengakui kebenaran kata-kata si bijak.


Labels:

posted by .:: me ::. @ 12:39:00 PM   1 comments

Orang Beragama Belum Tentu Baik
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh : Arvan Pradiansyah

Dalam sebuah acara Life Excellence di Radio Trijaya beberapa waktu yang lalu, saya mengangkat sebuah topik panas berjudul, “Orang Beragama atau Orang Baik?” Waktu itu saya membahas fenomena menarik, yaitu mengenai banyaknya orang beragama yang ternyata tidak baik. Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak beragama atau tidak menjalankan agamanya dengan baik, tetapi dalam kehidupan sehari-hari adalah orang yang baik. Acara ini mendapatkan banyak respons dari pendengar baik melalui telepon maupun SMS. Banyak yang mendukung, tapi beberapa SMS mengecam bahkan memaki-maki saya.

Padahal saya tidak sedang mempromosikan bahwa kita sebaiknya tidak perlu beragama asalkan sudah bisa menjadi orang yang baik. Saya hanya ingin mengajak kita berpikir mengapa agama seolah-olah tidak berhasil membuat penganutnya menjadi orang yang baik. Mengapa Indonesia yang dikenal sangat religius sekaligus juga dikenal sebagai negeri terkorup di dunia? Mengapa kita juga memperoleh predikat nomor dua untuk pornografi dan nomor tiga untuk masalah narkoba?

Padahal kalau dipikir-pikir apa sih kekurangan kita. Kita shalat dan bukankah shalat dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar? Kita berpuasa dan bukankah puasa mestinya menghasilkan manusia-manusia yang takwa? Jemaah haji kita terbesar jumlahnya di dunia, dan bukankah haji seharusnya melahirkan agent of change? Namun mengapa kita malah menjadi sarang korupsi, narkoba dan pornografi?

Setelah merenungkannya dengan mendalam, saya menemukan paling tidak tiga kesalahan pokok dalam memaknai agama. Pertama, agama sering disosialisasi dalam bentuk ritual semata. Sejak kecil kita belajar shalat, menghafal bacaan dan belajar gerakannya. Yang kita lupakan cuma satu, yakni: kita tak pernah diajarkan mengenai mengapa kita harus shalat. Hal yang sama juga terjadi pada anak saya yang sekarang sedang duduk di sekolah dasar.

Kedua, agama sering diartikan sebagai sebuah ”kewajiban” yang bila melakukannya akan diganjar pahala dan surga, sedangkan mengabaikannya akan diganjar dosa dan neraka. Padahal kata ”kewajiban” sering pula bernuansa buruk. Kewajiban memberikan konotasi paksaan kepada orang untuk melakukannya. Kewajiban bersifat outside-in (dari luar ke dalam). Ini berbeda dari kebutuhan yang bersifat inside-out (dari dalam ke luar).

Padahal perubahan perilaku jauh lebih mudah pada sesuatu yang bersifat inside-out. Dalam inside-out orang melakukan sesuatu karena kesadaran. Dorongan terhadap hal ini berasal dari dalam. Selama agama masih dianggap sebagai kewajiban bukannya kebutuhan, akan sangat sulitlah untuk berharap bahwa agama bisa mengubah perilaku.

Kewajiban juga acap kali menjauhkan kita dari kenikmatan. Bayangkan seorang istri yang mengatakan bahwa ia melayani suaminya sebagai kewajiban. Menurut Anda, apakah wanita ini menikmati hubungan dengan suaminya? Saya yakin tidak.

Ketiga, agama sering ditafsirkan sebagai urusan kita dengan Tuhan. Padahal esensi agama adalah kasih. Bahkan saya berani mengatakan bahwa tanpa kasih tak ada gunanya kita beragama. Bukankah Tuhan adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Bukankah dalam agama mana pun senantiasa dikatakan, ”belum beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”?

Karena itu, orang beragama mestinya dikenal karena rasa cintanya kepada sesama manusia. Sayangnya hal ini sering terlupakan. Saya ingat pengalaman saya bersekolah di sebuah sekolah swasta Islam terkemuka di Jakarta awal 1980-an. Ketika itu porsi pelajaran agama di sekolah negeri adalah dua jam pelajaran per minggu. Sekolah saya jauh lebih maju karena pelajaran agamanya 8 jam. Namanya pun bukan pelajaran agama, tetapi langsung menggunakan nama yang spesifik: Tauhid, Fiqih, Tarikh Islam, dan Bahasa Arab. Namun sayangnya ada satu hal yang tidak diajarkan: Akhlaq (Budi Pekerti).

Bahkan kalau pun ada pendidikan budi pekerti di sekolah, pendidikan itu lebih sering bermuatan pengetahuan (knowledge). Padahal perubahan perilaku lebih ditentukan oleh kesadaran ketimbang pengetahuan. Siapa pun tahu bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Akan tetapi, cukupkah pengetahuan itu membuat orang berhenti merokok? Tentu saja tidak.

taken from : SWA

Labels:

posted by .:: me ::. @ 12:30:00 PM   0 comments

Biarkan Cahaya Itu Masuk (Arvan P.)
<$BlogDateHeaderDate$>
Seorang tua yang kaya raya sedang berbaring di tempat tidur menunggu maut datang menjemput. Di saat-saat terakhir, ia mengumpulkan keempat istrinya. Ia ingin mengajak mereka untuk menemaninya sampai ke alam baqa.
Dipanggillah istrinya satu persatu. Dimulai dari istri keempatnya, yang paling muda sekaligus paling cantik. Istri ini berkata, ''Maafkan aku. Tentu saja aku sangat sedih memikirkan kepergianmu, tapi aku masih memiliki banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku tak dapat menemanimu.'' Kecewa dengan jawaban itu, si lelaki memanggil istri ketiganya, namun istrinya ini mengatakan, ''Aku hanya dapat menemanimu sampai engkau menghembuskan nafasmu yang terakhir.''


Istri keduanyapun dipanggil. ''Aku akan menemanimu, tetapi hanya sampai di pemakaman saja,'' ujarnya. Hampir putus asa, akhirnya ia memanggil istri pertamanya. Dengan mantap si istri berkata, ''Aku akan menyertaimu kemanapun engkau pergi.''
Cerita inspiratif ini sebenarnya adalah gambaran kehidupan kita sendiri. Istri keempat adalah analogi dari harta yang kita kumpulkan selama kita hidup. Istri ketiga adalah tubuh kasar kita yang amat kita perhatikan dan selalu kita rawat. Istri kedua adalah analogi dari keluarga kita. Istri pertama yang paling setia adalah gambaran tubuh halus kita, jiwa dan spiritualitas kita. Inilah yang akan menyertai kita kemanapun kita pergi.


Ironisnya, selama hidup, kita telah menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit untuk urusan harta, badan, dan keluarga kita. Padahal cepat atau lambat mereka akan meninggalkan kita. ''Harta'' satu-satunya yang paling setia yaitu jiwa kita justru sering kita abaikan.
Kesalahan terbesar yang sering kita lakukan adalah menyangka bahwa kita adalah makhluk fisik. Banyak orang beranggapan bahwa ''Aku adalah tubuhku.'' Karena itu, seluruh hidupnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Mereka mengumpulkan harta dan memenuhi nafsu badannya seakan-akan mereka akan hidup untuk selama-lamanya.

Perlombaan mengumpulkan harta ini melahirkan keserakahan dan korupsi. Manusia-manusia semacam ini banyak sekali jumlahnya di negeri kita. Celakanya lagi merekalah yang memegang kekuasaan hampir di segala lapisan. Orang-orang ini tak pernah melewatkan kesempatan sekecil apapun. Kekuasaan bagi mereka adalah mesin uang yang amat efektif.
Padahal manusia sama sekali bukan makhluk fisik. Manusia adalah makhluk spiritual. Kita bukanlah tubuh kita, kita adalah jiwa kita. Sejak pertama kali diciptakan, kita adalah makhluk spiritual, dan sampai kapanpun kita tetap makhluk spiritual.

Hanya ketika berada di dunialah jiwa kita membutuhkan badan sebagai rumah kita. Tapi, badan ini lama kelamaan akan rusak dan aus. Pada akhirnya badan tak dapat lagi kita gunakan. Kita menyebutnya meninggal dunia. Namun, ini tidak sama dengan kematian. Kita hanya meninggalkan dunia tetapi kita masih tetap hidup.
Kalau kita menyadari akan kenyataan sederhana ini, kita tak akan menjadi manusia yang rakus dan serakah. Kita akan sadar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara saja. Memang benar, kita tak dapat hidup tanpa memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik kita seperti sandang, pangan, dan papan. Tapi, kita tahu bahwa di balik wujud kasar kita ada jiwa yang merupakan milik kita selama-lamanya. Karena itu, kita tak ingin merusak jiwa ini untuk memenuhi kebutuhan fisik kita yang sangat sementara itu.

Orang yang korupsi dan serakah sebetulnya memiliki satu tujuan: kebahagiaan. Namun, karena mereka menganggap dirinya hanya makhluk fisik, maka kebahagiaan itu diterjemahkan menjadi: mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Padahal harta yang mereka kumpulkan tak akan pernah membuat mereka puas, tetapi hanya membuat mereka bertambah haus. Mereka tak sadar bahwa sumber kebahagiaan yang abadi terdapat di dalam jiwa mereka sendiri. Mereka tak pernah menyelami kekayaan terbesar yang mereka miliki itu
Keserakahan terhadap dunia telah merusak dan menggerogoti jiwa mereka. Keserakahan ini juga telah menutupi seluruh hati mereka sehingga mereka seakan-akan tak pernah mendapatkan ''cahaya'' dari Tuhan. Mereka tak pernah sadar pada sumber kebahagiaan yang tersedia dalam jiwa mereka yang sebenarnya dapat mereka akses setiap saat.

Sebagai penutup, saya ingin mengemukakan cerita seorang bijak yang bertanya pada murid-muridnya, ''Dimana Tuhan ada?'' Murid-muridnya yang keheranan itu dengan tangkas menjawab, ''Di mana-mana.'' Namun, orang bijak itu mengatakan, ''Tidak. Tuhan hanya ada ketika manusia membiarkanNya masuk.''

Orang bijak ini benar. Orang-orang yang tamak dan serakah telah menutup seluruh ruangan hati mereka dengan harta benda. Tak ada lagi tempat yang dibiarkannya tersisa untuk cahaya Ilahi. Untuk itulah sebetulnya kita perlu berpuasa karena berpuasa adalah sebuah terapi untuk mengurangi ketergantungan kita pada dunia fisik dan membuka pintu pada dunia spiritual. Lapar yang kita rasakan pada hakikatnya adalah upaya memberikan ruangan pada cahaya Ilahi untuk masuk.


(Oleh: Arvan Pradiansyah, penulis buku You Are A Leader! dan buku Life Is Beautiful)

Labels:

posted by .:: me ::. @ 6:44:00 AM   0 comments

It' s All Small Stuff!'
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh: Arvan Pradiansyah

Pada suatu pagi yang cerah. Anda sedang mengemudikan kendaraan sambil menikmati lagu kesayangan Anda. Tiba-tiba, sebuah mobil yang berlari dengan kecepatan tinggi menyalib Anda. Anda terkejut bukan kepalang. Masih untung Anda terhindar dari kecelakaan. Langsung saja Anda membunyikan klakson sekeras-kerasnya sambil mengejar mobil tersebut. Tanpa diduga mobil tadi berhenti. Orangnya pun menghampiri Anda dan memaki Anda dengan kata-kata yang tak senonoh.

Bayangkan kalau Anda menghadapi situasi semacam itu. Apa yang akan terjadi? Apa yang akan Anda lakukan sesampai di kantor? Mungkin Anda akan menceritakan kejadian tadi pada teman-teman Anda. Lalu seharian Anda diliputi perasaan marah. Masih belum puas, sore harinya Anda mendiskusikan masalah itu dengan keluarga di rumah.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah masalah besarkah? Mungkin ya, kalau Anda celaka, tapi kini Anda selamat dan sehat wal afiat. Yang Anda hadapi adalah masalah kecil. Persoalannya, Anda memperlakukannya sebagai masalah besar, yang begitu menyita perhatian dan menguras energi dan waktu produktif Anda.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak sekali hal-hal yang kita risaukan yang setelah kita amati lebih jauh ternyata bukan masalah besar. Di kantor kita bekerja dengan atasan yang otoriter dan mau menang sendiri, mendapatkan perlakuan kurang adil, memperoleh kritikan yang tak pada tempatnya, digunjingkan orang, dimaki-maki pelanggan serta menghadiri berbagai rapat yang tak penting.

Di rumah kita berurusan dengan tagihan listrik dan telepon yang terus naik, harga-harga yang membumbung tinggi, dompet yang hilang, mobil yang tergores, kaki yang terkilir, pasangan yang tak mau mengerti, dan anak-anak yang sering bertengkar. Hidup ini rasanya sumpek sekali.

Tahukah Anda siapa yang telah membuat Anda merasa begitu stres dan tertekan? Masalah-masalah itu? Bukan. Sama sekali bukan. Penyebab stres adalah diri Anda sendiri. Jangan lupa, tak ada sesuatu pun yang dapat menyakiti Anda tanpa ijin Anda sendiri. Anda lah yang membuat sumpek. Persoalannya, Anda menganggap hal-hal tadi sebagai masalah besar. Padahal semua itu hanyalah hal kecil yang tak perlu dirisaukan.

Salah satu cara yang efektif untuk mengetahui apakah sesuatu itu hal yang besar atau kecil adalah dengan menanyakan pada diri Anda sendiri, ''Apakah aku masih mempedulikan peristiwa ini setahun dari sekarang?'' Saya yakin kebanyakan kita akan mengatakan ''Tidak!''

Saya pernah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari atasan. Ia tak mengijinkan saya mengikuti sebuah seminar yang penting. Waktu saya tanyakan alasannya ia malah membeberkan ''daftar dosa'' saya. Tentunya menurut versinya sendiri. Intinya, saya tidak diijinkan ikut.

Beberapa hari saya merasa sangat marah karena perlakuan tersebut. Namun setahun kemudian, setelah mengundurkan diri dari perusahaan itu saya sering menertawakan ''kebodohan'' saya. Kenapa harus marah, peristiwa tersebut adalah hal kecil dan tak penting.

Mengurusi hal-hal kecil dapat membuat kita kehilangan perspektif terhadap hal-hal besar. Banyak orang yang menjalani kesibukan tanpa henti yang membuat mereka lupa akan misi mereka sebenarnya di dunia ini. Mereka baru sadar tentang hal-hal besar sesaat sebelum meninggal dunia.

Pada detik-detik terakhir nanti apakah Anda akan mengatakan, ''Saya ingin melewatkan waktu lebih banyak lagi di kantor.'' Ataukah, ''Saya ingin melewatkan waktu lebih banyak dengan keluarga, menikmati saat-saat indah, dan menyaksikan anak-anak saya tumbuh dari hari ke har.'' Saya yakin Anda semua memilih jawaban yang kedua.

Musisi John Lennon pernah berkata, ''Hidup adalah apa yang terjadi ketika kita sedang sibuk membuat rencana lain.'' Ketika kita sibuk membuat ''rencana lain,'' anak-anak kita akan menjadi dewasa, orang-orang yang kita cintai menjadi tua dan kemudian pergi, tubuh kita kehilangan bentuk dan impian-impian kita berlalu.

Ukuran kesuksesan Anda bukanlah ditentukan pada saat Anda hidup atau mencapai puncak karir. Ukuran kesuksesan baru dapat dilihat pada saat Anda meninggal. Bagaimana Anda memanfaatkan hidup Anda, apakah untuk hal-hal besar yang berkaitan dengan kebahagiaan Anda dan orang banyak, atau kah hanya untuk mengurusi hal-hal kecil yang terlalu remeh untuk sekedar diingat dan dikenang?

Anda akan memperoleh pencerahan kalau dapat melihat sesuatu yang sama dengan cara pandang yang baru. Mulailah melihat dalam kerangka yang lebih luas, Anda akan merasa tenang dan damai, karena tak lagi meributkan hal-hal yang kecil. Bahkan dalam perspektif yang lebih arif dan lebih holistik lagi, semua hal yang ada di dunia ini adalah hal kecil.

Apapun, bahkan milik Anda yang paling berharga dapat hilang begitu saja. Lantas kalau Anda kehilangan semua itu apakah hidup Anda menjadi tidak berarti? Tentu saja tidak! Jadi inilah aturan terpenting dalam hidup: Itu semua hal yang kecil. It's All Small Stuff!

Labels:

posted by .:: me ::. @ 5:57:00 PM   0 comments
:: My Profile ::

... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...




Join me on Friendster!

Chat 

With Me
:: Wisdom ::

When we succeed, we are thankful. When we fail, we are also thankful.
The happiness and wealth are in the thankful attitude itself.
[Saat sukses kita bersyukur. Saat gagalpun kita bersyukur.
Sesungguhnya kebagiaan dan kekayaan sejati ada pada rasa bersyukur.]"

Love and attention is power! If all us are willing to share love and attention towards people arounds us, then life will be happier and more meaningfull.
(Cinta dan perhatian adalah kekuatan! Jika setiap hari kita mau memberikan cinta dan perhatian kepada orang-orang di sekeliling kita hidup akan lebih bermakna).

Terkadang manusia terlebih dahulu tenggelam dalam keputusasaannya.
Dengan emosinya mereka mengatakan bahwa masalah yang mereka hadapi sangatlah berat.
Sesungguhnya jika mereka yakin dengan usaha mereka, niscaya Tuhan pasti menjawabnya.

Salah satu cara yang paling efektif untuk memperbaiki diri adalah dengan mengingat dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan.
Karena mungkin saja kesempitan yang dialami saat ini adalah buah dari kesalahan masa lalu dan kita belum memohonkan ampun kepada Allah.

The future is not a result of choices among alternative paths offered by the present, but a place that is created – created first in the mind and will, created next in activity.
The future is not some place we are going to, but one we are creating. The paths are not to be found, but made, and the activity of making them, changes both the maker and the destination.[John Schaar].
:: Recent Post ::
:: Archives ::
:: Menu ::
:: LETTO Fans Blog ::
:: NIDJIholic Blog ::

Click Slide Show
:: Friends ::
:: Games ::
:: Powered By ::

BLOGGER
2006, Ver. 4.0, Design by: Tamtomo~ Email: TamtomoMail~ Please Send Your Comment About Our Blog