Oleh : Arvan Pradiansyah
Sebuah foto yang sangat mengharukan terpampang di depan mata saya. Foto itu menggambarkan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan empat anaknya yang sedang berjalan dengan penuh kekhawatiran. Si ayah menggendong anaknya yang masih kecil, begitu pula dengan si ibu. Sementara kedua anaknya yang lain berpegangan erat pada tangan ayah dan ibunya sambil menenteng sebuah tas besar. Mereka harus melewati medan yang cukup berat di tengah gempuran pesawat dan rudal-rudal mutakhir yang siap menghajar siapa pun. Hidup mereka bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Keluarga ini sedang berjuang untuk bisa keluar dari Libanon di tengah keganasan serbuan tentara Israel yang siap membunuh siapa saja.
Dada saya terasa sesak menyaksikan pemandangan seperti ini. Saya begitu trenyuh dan tak terasa air mata mulai menetes. Saya seakan-akan sedang menyaksikan diri saya sendiri, keluarga saya, anak-anak saya yang berada dalam kondisi seperti itu. Agresi Israel ke Libanon meninggalkan begitu banyak luka dan kepedihan. Tentara Israel membombardir kota dan membunuh siapa pun yang mereka lihat. Mereka adalah orang-orang yang telah kehilangan belas kasih. Mereka telah menumpulkan hati mereka sendiri, dan tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk sebuah cahaya yang bernama cinta.
Sebuah pemandangan yang memilukan pernah pula direkam oleh kamera televisi pada saat terjadi agresi Amerika Serikat ke Irak tiga tahun yang lalu. Sepasang suami-istri menggendong kedua anak mereka yang terluka parah. Si adik telah meninggal dunia, sedangkan si kakak sedang sekarat. Kamera televisi pun mengabadikan pemandangan yang memilukan itu: saat-saat terakhir ketika si kakak mengembuskan napasnya yang terakhir dalam dekapan kedua orang tuanya.
Saya sering membayangkan, apa yang akan terjadi jika para pengambil keputusan di AS dan Israel kehilangan anak-anak, keluarga dan orang yang mereka cintai dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Mungkin hanya pengalaman semacam itulah yang hendak menyadarkan mereka mengenai betapa kejamnya perbuatan yang telah mereka lakukan. Mungkin hanya pengalaman semacam itulah yang hendak mengajarkan pada mereka mengenai arti dan hakikat cinta yang sesungguhnya.
Cinta senantiasa dimulai dengan berhenti memikirkan diri sendiri dan mulai memikirkan orang lain. Cinta hanya dapat ditumbuhkan dengan membayangkan diri kita ketika kita berada dalam posisi orang lain. Tanpa kemampuan seperti ini saya berani menjamin bahwa cinta tak akan pernah ada di dalam diri kita.
Labels: Arvan Pradiansyah |