|
Berkorban Itu Indah |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Telah 2 musim hujan berlalu sehingga di mana-mana tampak pepohonan menghijau . Keliatan seekor ulat di antara dedaunan yg menghijau bergoyang-goyang di terpa angin .
''Apa kabar daun hijau'' katanya ..... Tersentak daun hijau menoleh kearah suara yg datang . ''Ohh...kamu ulat , badanmu keliatan kurus dan kecil...mengapa ?'' tanya daun hijau . ''Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk makananku , bolehkan engkau membantuku sahabat ? '' kata ulat kecil . ''Tentu....tentu, dekatlah kemari ,'daun hijau berpikir ' Jika aku memberikan sedikit saja daunku ini untuk makanan si ulat, aku akan tetap hijau . Hanya saja aku akan keliatan berlobang-lobang...tapi tak apalah .''
Perlahan-lahan ulat menggerakkan tubuhnya menuju ke daun hijau . Setelah makan dengan kenyang ulat berterima kasih kepada daun hijau yg telah merelakan sebagian tubuhnya menjadi makanan si ulat .
Ketika ulat mengucapkan terima kasih kepada sahabat yg penuh kasih dan pengorbanan itu , ada rasa puas di dalam diri daun hijau . Sekali pun tubuhnya kini berlobang di sana sini namun ia bahagia dapat melakukan sesuatu bagi ulat kecil yg lapar . Tidak lama berselang ketika musim panas datang daun hijau menjadi kering dan berubah warna . Akhirnya ia jatuh ketanah di sapu orang dan dibakar .
Renungan...... Apa yg berarti di kehidupan kita sehingga kita enggan berkorban sedikit saja bagi sesama ? Nahh......akhirnya semua yg ada akan mati bagi sesamanya yg tidak menutup mata ketika sesamanya dalam kesukaran .
Yang tidak membelakangi dan seolah tidak mendengar ketika sesamanya berteriak meminta tolong . Ia rela melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain dan sejenak melupakan kepentingan diri sendiri . Merelakan kesenangan dan kepentingan diri sendiri bagi orang lain memang tidak mudah , tetapi indah .
Ketika berkorban diri kita sendiri mnjadi seperti daun hijau yg berlobang namun sebenarnya itu tidak mempengaruhi kehidupan kita , kita akan tetap hijau ...Tuhan akan tetap memberkati dan memelihara kita .
Bagi daun hijau berkorban merupakan sesuatu perkara yg mengesankan dan terasa indah serta memuaskan . Dia bahagia melihat sesamanya dapat tersenyum karena pengorbanan yg ia lakukan . Ia juga melakukannya karena menyadari bahwa ia tidak akan selamanya tinggal menjadi daun hijau , suatu hari ia akan kering dan jatuh.
Demikianlah kehidupan kita , hidup ini hanya sementara...kemudian kita akan mati. Itu sebabnya isilah hidup ini dengan perbuatan-perbuatan baik, kasih, pengorbanan , pengertian , kesetiaan , kesabaran , dan kerendahan hati .
Jadikanlah berkorban itu sebagai sesuatu yg menyenangkan dan membawa sukacita tersendiri bagi anda . Kita dapat berkorban dalam banyak perkara , mendahulukan kepentingan sesama , melakukan sesuatu bagi mereka , memberikan apa yg kita punyai dan masih banyak lagi pengorbanan yg dapat kita lakukan .
Yang mana yang sering kita lakukan ? Menjadi ulat kecil yg menerima kebaikan orang atau menjadi daun hijau yg senang memberi ....? jawabannya.......ada di dalam hati kita sendiri |
posted by .:: me ::. @ 6:56:00 AM
|
|
|
Bersyukur Setiap Saat |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
"Just to be alive is a grand thing." ~ Agatha Christie
Untuk menemukan sukses di dalam diri Anda, pada saat yang sama Anda perlu bersyukur dan menyadari kehadiran mindset sukses tersebut. Tanpa rasa syukur yang besar, hampir mustahil rasanya kita bisa menemukan mindset sukses di dalam diri. Mengapa? Karena rasa syukur yang besar merupakan dasar dari segala hal yang positif di dalam persepsi kita. Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kita rasakan dan pikirkan merupakan hasil olahan pikiran kita sendiri. Semua itu tidak lain dan tidak bukan merupakan persepsi kita terhadap dunia, bukan dunia itu sendiri.
What you think makes you what you are. Apa yang kita pikirkan menjadikan siapa diri kita. Jika kita berpikir bisa, maka kemungkinan besar kita bisa mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Ada juga pepatah yang berkata, "If you think you can, you really can." Jika kita berpikir tidak bisa, kemungkinan besar kita akan kalah dulu sebelum berperang dan mencari seribu satu alasan mengapa kita tidak bisa melakukannya. Alam bawah sadar kita selalu menuruti pikiran kita. Jika kita ragu-ragu melakukan sesuatu, biasanya hasilnya pun biasanya mencerminkan keragu-raguan. Jika kita melakukan sesuatu dengan mantap, maka hasilnya pun biasanya mantap, alias memuaskan.
Sebagai analogi, seorang anak yang sering dimarahi dan dilabel sebagai "pemalas" seringkali tumbuh sebagai seorang malas. Mengapa? Pikirannya percaya akan label tersebut dan perbuatannya mengikuti label tersebut. Inilah kekuatan bawah sadar yang seringkali dianggap sepele oleh para orang tua. Ini bahayanya jika kita menyebut anak kita sendiri sebagai "pemalas" atau "bodoh," karena bisa-bisa ia sungguh-sungguh tumbuh sebagai seorang pemalas dan "bodoh."
Seringkali, label seperti ini kita lakukan juga terhadap diri sendiri. Tidak jarang kita dengar label diri sendiri yang cukup "aneh," misalnya: "saya ini tidak sepandai Anda jadi saya tidak bisa menulis buku," "saya ini bukan anak konglomerat dan tidak berbakat bisnis maka saya tidak berhasil dalam bisnis," dan "saya ini tidak pandai sekolah jadi saya tidak selesaikan sekolah saya." Saya hanya bisa tertawa saja karena semua itu adalah label negatif yang dipakai diri sendiri untuk menjustifikasikan mengapa ia belum juga menemukan sukses di dalam dirinya.
Kebenaran prinsip bahwa apa yang kita pikirkan menjadikan siapa diri kita, tidak bisa dipungkiri lagi karena semua orang sukses (yang sesuai dengan definisi ala Jennie S. Bev yang dituangkan dalam buku ini, tentunya) mempunyai sikap penuh syukur, penuh berterima kasih, dan tidak senang mencela siapa pun dan apa pun. Semakin positif diri kita, semakin banyak hal-hal positif yang akan terproyeksikan keluar, dan semakin banyak orang bermental positif (baca: sukses) yang akan tertarik untuk berkomunikasi. Ini juga yang menjawab mengapa "orang sukses kok temannya kebanyakan orang sukses pula."
Kejelian hati dan pikiran kita untuk mengucapkan syukur dan berterima kasih di setiap kesempatan merupakan dasar dari pikiran-pikiran positif, termasuk mindset sukses. Dengan semakin jeli melihat hal-hal yang positif maka semakin jeli pula kita melihat ke dalam diri dan mengambil sari bahwa kita semua merupakan personifikasi sukses itu sendiri. Dengan selalu mengucapkan terima kasih dan bersyukur akan hal-hal kecil, maka alam bawah sadar kita semakin terbiasa untuk menerima hal-hal positif dengan kesadaran penuh. Ini akan terakumulasi di dalam diri sedemikian rupa sampai akhirnya membentuk diri kita yang baru.
Diri ini merupakan personifikasi sukses yang siap memproyeksikan keadaan di dalam diri ke luar. Dengan kata lain, dengan memenuhi pikiran dan perasaan kita dengan persepsi-persepsi positif, kita akan berhasil mengatasi sumber-sumber negatif dari luar. Dengan isi pikiran dan perasaan yang positif, maka perbuatan kita pun akan menarik hal-hal yang positif, termasuk hal-hal yang menggandakan kekuatan baik dari uang dan hal-hal lainnya. Singkat kata, semakin tinggi nilai persepsi diri yang positif, mindset sukses akan semakin terpancar dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi magnet dari kebebasan finansial.
Sesuatu yang baru? Tidak juga, karena semua agama mengajarkan mengucapkan syukur dan semua orang tua yang baik mengajarkan anak-anaknya untuk berterima kasih kepada orang lain. Kenyataannya, karena satu dan lain hal, manusia-manusia modern macam kita semua, lebih sering mencela daripada bersyukur dan berterima kasih kepada orang lain. Lebih banyak menjelek-jelekkan pihak lain daripada memuji, serta lebih banyak rasa iri daripada membina hubungan yang sinergis.
Jika kebiasaan-kebiasaan tidak terpuji tersebut dipertahankan, sangatlah mengecewakan hasilnya. Saya ingat ketika saya menunggu di tempat praktek dokter di Jakarta beberapa tahun yang lalu, betapa saya merasa sungguh tidak berharga karena ternyata pak mantri yang mengurus registrasi sangat merasa berkuasa dengan memerintah-merintah para pasien yang sedang sakit dengan nada yang tidak enak. Hal-hal seperti ini sangat sering saya jumpai, dan bisa ditebak bahwa pelaku demikian adalah orang-orang yang, maaf, biasanya adalah pecundang. Walaupun dalam hati kecil saya mengerti bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan orang sakit pasti membawa stres.
Namun, sebenarnya ia bisa mengatur para pasien dengan cara yang lebih sopan, bahkan sebaiknya dilakukan dengan upaya supaya para pasien merasa sedikit lebih nyaman di ruang tunggu dokter daripada di rumah. Satu ucapan singkat, "terima kasih" kepada para pasien yang telah mengantri giliran dengan sabar sebenarnya merupakan satu getaran positif yang mudah, murah, dan meriah. Sayangnya, ia tidak menyadari keampuhan kata ini.
Untuk menemukan diri yang sukses di dalam, mengucapkan syukur bisa dibarengi ketika mengucapkan kata-kata pemacu dan melakukan visualisasi setiap jam sebanyak sepuluh kali tersebut (yang dibahas dalam bab di atas). Bisa juga Anda gunakan waktu khusus setiap hari, misalnya ketika bangun pagi, menjelang tidur malam, dan ketika melakukan shalat maupun doa-doa khusus.
Saya sendiri tidak mengkhususkan diri kapan saya bersyukur dan berterima kasih atas segala sesuatu yang terjadi dalam keseharian. Mengapa? Walaupun cara demikian memang baik, namun seringkali jika tidak berhati-hati dan pilot otomatis sudah bekerja, maka segala sesuatu yang dijalankan dengan rutin akan menjadi rutinitas belaka. Rutinitas tidak lagi memberikan arti mendalam, malah menjadi hambar.
Sebaliknya, saya biasanya mengucapkan terima kasih begitu ada sesuatu yang menarik perhatian, mempunyai arti, dan dilakukan oleh orang lain untuk saya. Misalnya, begitu bangun pagi. Kalimat pertama yang diucapkan adalah, "Terima kasih untuk hari baru yang cerah ini." Setelah itu, saya mengucapkan terima kasih pula untuk diberi nafas pada hari ini dan juga kesehatan saya dan suami. Setelah itu, begitu membuka pintu kamar tidur, biasanya saya disambut oleh binatang piaraan saya. Satu lagi ucapan terima kasih saya haturkan kepadaNya dan kepada si Happy itu. Terima kasih kepada Tuhan karena Happy masih hidup dan lucu seperti kemarin, serta terima kasih kepada Happy karena tempat tidurnya rapi dan tidak berantakan, sambil biasanya saya mengusap kepalanya yang berbulu itu.
Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah, sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur? Mungkin sudah lima sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali yang saya ucapkan dengan lantang bersuara kepada orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi lebih, karena tidak saya hitung.
Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja: dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif dalam melihat segala sesuatu. Bahkan hal-hal yang negatif sekali pun pasti ada positifnya, karena tidak ada setengah lingkaran "yin" yang seratus persen putih dan tidak ada lingkaran "yang" yang seluruhnya hitam. Pasti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik di dalam putih bersih.
Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan (belief) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personifikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan Anda perlu mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin itu lagi pendapat Anda. Sekali lagi saya tekankan bahwa buku ini tidak mengajarkan Anda untuk sukses dalam semalam, namun dengan mengubah mindset maka segala faktor eksternal yang sering menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri. Jangan pikirkan "pahala" yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharapkan nasib Anda akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima kasih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.
"Terima kasih" tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembut daripada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnet yang bisa membantu Anda dalam memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan keengganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi personifikasi dari sukses itu sendiri. Sumber: Bersyukur Setiap Saat oleh Jennie S. Bev. Jennie S. Bev adalah penulis buku best-seller Rahasia Sukses Terbesar.
|
posted by .:: me ::. @ 5:12:00 PM
|
|
|
The Power of Andrie Wongso |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
"Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia"
Sering kali saat kita bangun pagi begitu membuka mata pikiran kita sudah terbebani oleh berbagai masalah. Seperti : pekerjaan kantor yang masih tertunda, janji yang belum ditepati, target penjualan yang belum tercapai. Dan mungkin timbul perasaan kecewa, stres, marah pada diri sendiri atau orang lain yang masih tersimpan dalam hati. Atau mungkin juga masalah percintaan, keluarga, keuangan, penyakit dan berbagai macam problem lainnya.
Jika begitu bangun pagi pikiran kita sudah terkondisikan oleh beban seperti itu maka besar kemungkinan sepanjang hari yang akan kita jalani terasa begitu berat, menderita, dan jauh dari perasaan senang dan bahagia.
Alangkah bijak jika kita begitu bangun pagi menyongsong hari yang baru dengan membiasakan diri untuk sejenak bersyukur dan berdoa dengan menyingkirkan sementara semua masalah. Melalui hati yang penuh syukur kita akan mendapatkan kesegaran dan kesehatan mental serta pikiran positif untuk menghadapi kehidupan hari ini dengan berani dan menyenangkan.
Dari pengalaman saya, di setiap pagi bangun dari tidur, saya selalu sempatkan waktu untuk berdiam diri sejenak dengan hati penuh syukur memulai hari baru dengan doa dan meditasi. Menyadari dan selalu mengingatkan pada diri sendiri, bahwa apa pun yang telah saya peroleh sepanjang perjalanan hidup ini semuanya adalah titipan dari yang di Atas.
Saya selalu mengingatkan pada diri sendiri untuk bersikap tidak manja, apalagi lupa diri dan tetap komitmen untuk mengembangkan diri dan menularkan semangat, membagi pengertian dan kebijaksanaan kepada banyak orang.
Hati yang selalu bersyukur merupakan kekayaan jiwa. Seiring dengan rasa syukur secara alami akan menumbuhkan keyakinan, keyakinan bahwa : "Setiap hari adalah hari baru hari yang indah dan hari yang penuh harapan". Seperti pepatah dalam bahasa inggris: Everyday is good enough to begin a new life.
Dengan keyakinan seperti itu, kita akan memiliki motivasi yang kuat dan memungkinkan menikmati sepanjang hari dengan semangat kerja penuh antusias, siap menghadapi setiap tantangan yang muncul, siap menciptakan peluang baru dan siap mengaktualisasikan diri demi masa depan yang lebih cemerlang.
Sekali lagi ... hati yang penuh syukur.
Labels: Andrie Wongso |
posted by .:: me ::. @ 6:41:00 AM
|
|
|
Seteguh Gandhi, Semenyentuh Rumi |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Menyusul maraknya kekerasan di sejumlah negara Barat (sebagai contoh serangan AS dan sekutunya ke Afganistan dan Irak) yang tadinya menjadi suri teladan dunia dalam banyak hal, sejumlah sahabat mulai bertanya: siapakah yang akan menjadi teladan di depan dalam menentukan peradaban manusia?
Sebuah pertanyaan sulit. Meminjam pendapat seorang guru, mungkin lebih mudah bagi benang kusut untuk keluar dari lubang jarum, dibandingkan mencari suri teladan peradaban pada zaman ini.
Bagi pencinta optimisme, tentu selalu ada jendela-jendela kesempatan yang terbuka pada setiap zaman. Bila saja cahaya teladan belum kelihatan, mungkin karena awan penghalang belum waktunya untuk berlalu. Bukannya karena tidak bercahaya. Ada dua jenis pemanah yang targetnya dihalangi awan: menunggu awannya berlalu, atau tetap memanah kendati berisiko tidak tepat sasaran.
Keduanya membawa plus-minusnya masing-masing. Yang pertama aman, namun ketika awan berlalu papan sasaran sudah penuh dengan anak panah orang lain. Yang kedua berisiko, namun lebih mungkin mencapai sasaran dibandingkan yang pertama.
Kemurnian perjuangan Dengan risiko seperti inilah kemudian sejumlah sahabat mulai berspekulasi tentang penentu-penentu peradaban pada masa depan. Ada yang mengemukakan kalau China sebuah kandidat terutama dengan melihat jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonominya. Ada yang menoleh pada India, terutama karena penguasaan teknologi informasi yang menonjol. Ada juga yang menunjuk pada Afrika Selatan, secara lebih khusus karena fundamen kemajuan yang dibangun Nelson Mandela demikian kokoh. Dan, Anda pun boleh menambahkannya dengan pendapat yang lain.
Apa pun negaranya, sulit membayangkan bisa menjadi teladan peradaban tanpa peran pemimpin yang mengagumkan. Oleh karena itulah, maka eksplorasi ide tentang hal ini akan difokuskan pada sifat-sifat kepemimpinan.
Mendalami tantangan-tantangan yang menghadang, tidak ada kata yang lebih tepat dari kata berat. Jangankan pemimpin yang belum menunjukkan tanda-tanda kinerja yang mengagumkan, Thaksin di Thailand yang sudah menunjukkan sejumlah kinerja saja dikudeta. Jangankan mereka yang usia kepemimpinannya masih bisa dihitung dengan beberapa jari, yang sudah mencengkeram beberapa puluh tahun pun harus runtuh.
Dari sinilah muncul perlunya sikap teguh dalam memimpin. Dan salah satu pemimpin dengan kualitas keteguhan mengagumkan yang pernah lahir bernama Mahatma Gandhi. Tidak terhitung banyak sekaligus besarnya tantangan yang pernah dihadapi Gandhi. Mulai dari disiksa ketika menjadi pengacara di Afrika Selatan; berhadapan dengan penjajah Inggris yang memegang kuasa sekaligus senjata; sampai dengan digoda kekuasaan setelah India merdeka. Apa pun godaannya, Gandhi tetap teguh pada dua hal: tanpa kekerasan, tidak mencampurkan urusan pribadi dengan urusan perjuangan.
Soal tanpa kekerasan, Gandhi memang nyaris tiada tandingannya pada abad ini. Baik ketika di Afrika Selatan maupun di India, berkali-kali tubuhnya disakiti dan dilukai, ia tetap konsisten dengan prinsip tanpa kekerasan. Bahkan, ketika tubuhnya ditembus peluru pun, beberapa detik sebelum mati masih sempat memohon agar yang menembak dirinya diampuni.
Berkaitan dengan keteguhan tidak mencampurkan perjuangan dengan urusan pribadi, terlihat puncaknya tatkala India baru merdeka. Tidak sedikit tokoh baik dari kubu Hindu maupun Muslim yang sepakat, Gandhi-lah yang paling pantas duduk sebagai Perdana Menteri India yang pertama. Namun, sebagaimana telah dicatat rapi oleh sejarah, ia menjaga kemurnian perjuangan dengan mempersilakan Nehru memegang kursi perdana menteri. Dengan demikian, dalam totalitas, jadilah Gandhi tokoh yang merenda keindahan kehidupan dengan dua keteguhan: tanpa kekerasan dan kemurnian perjuangan.
Mengetuk pintu Namun, sebagaimana telah banyak dicatatkan oleh waktu, terlalu banyak pemimpin yang menggunakan keteguhan tanpa pedoman. Ibarat pengayuh perahu, keras sekali ia mengayuh (baca: teguh), namun lupa bahwa ia tidak seorang diri di dalam perahu. Maka, jadilah keteguhan bersahabatkan kesewenang-wenangan.
Pada zaman di mana wacana, perjuangan, konflik, tarik-menarik kepentingan demikian riuhnya, bukan lagi saatnya mengubah orang dengan pentungan, kepalan tangan, ancaman, apalagi pembunuhan. Seberapa keras pun kepribadian seseorang, seberapa gelap pun pengalamannya, seberapa sentimen pun ia akan kehidupan, tetap manusia rindu akan sentuhan-sentuhan. Seperti Cleopatra yang menundukkan Eropa pertama kalinya. Seperti Taj Mahal yang bukan permaisuri raja, bukan beragama Hindu, tetapi dikenang menawan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Seperti Ibu Teressa yang menyentuh hati dunia. Di sinilah kemudian manusia memerlukan seorang Rumi.
Bila Gandhi menawan dengan keteguhan, Rumi menawan dengan sentuhan-sentuhan. Ada wibawa, ada karisma, ada getaran, ada sentuhan di hampir setiap karya-karya Rumi. Suatu hari Rumi berdoa dalam-dalam. Sehabis berdoa, ia ketuk pintu Kekasih Yang Maha Mencintai. Dari dalam ada yang bertanya: "Siapa?". Dengan teduh Rumi menjawab: "Aku...! Tanpa menunggu lama-lama suara tadi menjawab kembali: "Tidak ada tempat untuk berdua." Kembali Rumi berdoa dalam-dalam. Setelah dirasa cukup, ia ketuk lagi pintu yang sama. Kali ini pun terdengar suara yang sama: "Siapa?" Dengan bergetar Rumi menjawab: "Engkau!" Tanpa aba-aba pintu itu langsung terbuka. Bagi setiap pejalan kaki ke dalam diri akan mengerti, seberapa jauh Rumi sudah pergi.
Dalam doa, dalam kerja pintu itu diketuk-ketuk selalu dengan berbagai cara. Namun, bagi manusia yang masih sibuk dengan kata aku (baca: penuh ego, kesombongan, kecongkakan, kemarahan, kebencian), Pintu itu tidak terbuka. Kapan saja akunya menghilang, tanpa diketuk pun Pintu ini otomatis terbuka.
Dalam bahasa seorang guru: when you step up in the path of God means you step down in the path of ego. Kalau kaki manusia melangkah naik di tangga-tangga ketuhanan, berarti melangkah turun dalam tangga-tangga keegoan. Baik kehidupan Gandhi maupun kehidupan Rumi sama-sama penuh inspirasi karena melangkah turun dalam tangga-tangga keegoan.
Kembali ke cerita awal tentang teladan peradaban, di mana saja lahir pemimpin yang seteguh Gandhi dan semenyentuh Rumi, barangkali dari sana cahaya peradaban akan mulai membimbing kegelapan-kegelapan.
Gede Prama Penulis, Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
Labels: Gede Prama |
posted by .:: me ::. @ 5:57:00 PM
|
|
|
|
:: My Profile :: |
... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...
Join me on
Friendster!
|
:: Wisdom :: |
|
:: Recent Post :: |
|
:: Archives :: |
|
:: Menu :: |
|
:: LETTO Fans Blog :: |
|
:: NIDJIholic Blog :: |
Click Slide Show
|
:: Friends :: |
|
:: Games :: |
| |