|
Simfoni di Dalam Diri |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Oleh Gede Prama
Ada sebuah institusi sosial yang menyelamatkan peradaban dalam waktu lama sedang mengalami keruntuhan. Institusi itu bernama keluarga. Disebut menyelamatkan peradaban karena di keluarga kita lahir, bertumbuh, menjadi tua, dan akhirnya mati. Lebih dari itu, di keluarga juga sebagian besar kekurangan disempurnakan.
Bersamaan dengan runtuhnya bangunan keluarga (melalui perceraian, menurunnya respek masyarakat, dan semakin minimnya tokoh yang menjadi contoh dalam hal ini), di mana-mana kehidupan ditandai oleh lingkungan yang semakin panas.
Di kantor panas oleh perebutan kekuasaan, di jalan panas oleh kemacetan, bahkan sebagian tempat ibadah pun sudah mulai kehilangan kesejukan. Sejumlah media cetak, radio, dan televisi hanya memberitakan sesuatu yang panas. Yang sejuk-sejuk tidak termasuk dalam klasifikasi berita. Jadi, tidak terbayang panasnya wajah peradaban. Di satu sisi cuaca di luar memanas, di lain sisi keluarga mulai kehilangan atap yang menyejukkan.
Lahan penerimaan
Ketika sayur-sayuran ditanam kemudian gagal bertumbuh segar, manusia otomatis mencari sebabnya pada kekeliruan-kekeliruan kita sendiri. Namun, begitu berhadapan dengan orang lain, terlalu sering dalam kehidupan, manusia mencari kesalahannya pada orang lain. Bukan mencari kekeliruan-kekeliruan yang kita lakukan, sebagaimana ketika berhadapan dengan tetumbuhan.
Diterangi cahaya pemahaman seperti ini, tidak elok bila menimpakan seluruh kekeliruan kepada Descartes yang mengultuskan ”aku” mulai ratusan tahun lalu, pada kapitalisme yang membuat semuanya jadi materialistik. Serupa dengan logika sayuran tadi, mari kita cari sebab-sebab dalam diri yang membuat semua ini terjadi.
Bila diandaikan dengan daun kelapa yang bergoyang, goncangan kehidupan manusia sekarang memang jauh lebih keras. Bahayanya, sudah tambah berguncang kemudian berpegangan pada sesuatu yang bergoyang kencang.
Di dalam diri, manusia labil oleh ketersinggungan, kemarahan, kecemburuan. Pada saat yang sama, nyaris semua hal luar (termasuk rumah dan keluarga) mengalami guncangan-guncangan. Oleh karena itulah, membangun rumah dan keluarga yang sejuk menjadi sebuah isu penting pada zaman ini.
Sebagaimana rumah sesungguhnya, kekokohannya bergantung pada seberapa kuat fondasinya. Bila boleh jujur, kenapa fondasi banyak rumah keluarga demikian keropos, karena dimulai dengan keserakahan hanya mau kelebihan, menolak kekurangan. Belajar dari sinilah, maka penting menata ulang rumah keluarga dengan belajar saling menerima kekurangan.
Rumah mana pun akan indah menawan bila setiap kali pulang ke rumah kita saling menyirami. Seperti pohon yang kekeringan di musim kemarau (konflik di kantor, macet di jalan), demikianlah keadaan emosi tatkala pulang ke rumah. Betapa indahnya kemudian bila kita saling menyirami di rumah (baca: menerima kekurangan). Inilah bibit-bibit cinta yang menawan. Cinta yang mekar dari kesadaran bahwa semua punya kekurangan, semua membutuhkan siraman-siraman.
Mengalir bersama simfoni
Sulit membayangkan mekarnya bunga-bunga cinta kalau hubungan dimulai dengan harapan orang harus sempurna. Sebagaimana alam yang memeluk dualitas sama mesranya (musim hujan rumput menghijau, musim kemarau bunga-bunga bermekaran), cinta baru mulai tumbuh dalam totalitas. Dalam kelebihan ada kekurangan, dalam kekurangan ada kelebihan (love as a totality).
Kebanyakan kecelakaan kehidupan (perceraian, peperangan, perkelahian, kerusuhan) berasal dari mau kelebihan tidak mau kekurangan. Bila ada seribu laki-laki berkumpul, kemudian ditanya siapa yang mau menerima kecantikan dan kebaikan istri, kemungkinan besar semua orang akan angkat tangan. Namun, bila ditanya, siapa yang mau menerima (maaf) kecerewetan dan kekerasan istri, jika ada yang menaikkan tangan, dengan mudah dituduh kurang waras. Atau sekurang-kurangnya dicurigai menjadi ketua dewan pembina ISTI (ikatan suami terinjak-injak istri).
Di tengah hamparan bahan-bahan kosmik seperti ini, suatu sore seorang putri bertanya kepada papanya tentang rumah (home), terutama setelah lama ia lelah mencari. Dengan tersenyum papanya berbisik, ”Home is not a place. It is a journey. Those who totally flow with the journey, they’re at home already.” Rumah indah kehidupan bukanlah tempat, ia adalah perjalanan itu sendiri. Siapa yang mengalir penuh harmoni dengan keseharian, ia sudah sampai di rumah.
Seperti belum jelas dengan jawaban tadi, putri ini bertanya lagi, apa cahaya penerangnya agar rumah ditemukan? Dengan lembut papanya berbisik, ”The light is not outside. It is within your love. Those who are full of love see light everywhere.” Cahaya penerangnya tidak di luar. Ia tersembunyi dalam keseharian yang penuh cinta. Siapa saja yang melangkah dengan penuh cinta, perjalanannya terang benderang.
Lebih dari sekadar terang, sebagaimana pengalaman para master, kehidupan menjadi seperti simfoni indah yang dibentuk berbagai alat musik. Benar-salah, sukses-gagal, semuanya mengukir keindahan.
Ada yang bertanya, bila ada simfoni di dalam diri, lantas siapa dirigennya? Bertanya tentu tidak dilarang. Namun, yang perlu diwaspadai, siapa yang menunggangi pertanyaan. Kerap ada keraguan, kadang ada ketakutan, ada waktunya pertanyaan didorong keingintahuan, sering pertanyaan ditunggangi kecurigaan. Keraguan, ketakutan, apalagi kecurigaan, hanyalah tanda bahwa seseorang masih jauh dari rumah. Keingintahuan adalah pikiran yang lapar. Dalam banyak kehidupan, pikiran lapar adalah awal keguncangan-keguncangan.
Jadi, bisa dimaklumi bila para guru yang sudah lama tinggal di rumah, menyatu dengan rumah, hanya mengenal dua bahasa, silent and smile. Senyuman pertanda persahabatan dengan kehidupan. Keheningan tanda tidak ada lagi yang diragukan.
Mungkin itu sebabnya Zenkei Shibayama memberi judul karyanya A Flower does not talk. Bunga mekar dalam keheningan, layu dalam keheningan. Bisa jadi ini juga alasan tatkala murid-muridnya berselisih paham, Buddha Gautama memilih berdiam diri di hutan bersahabatkan gajah dan pepohonan. Perhatikan apa yang ditulis Rumi dalam Masnavi: The wages of religion are love, inner rapture. Upah buat mereka yang tekun berjalan ke dalam adalah cinta, rasa terpesona dari dalam yang tidak terucapkan.
Inilah simfoni di dalam diri. Simfoni yang membuat batin beristirahat sempurna dalam hening. Apa yang ditakuti manusia sebagai kematian, ia sesederhana daun jatuh dari rantingya.
Oleh: Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara Sumber: Kompas, Sabtu, 7 Juni 2008
Labels: Gede Prama |
posted by .:: me ::. @ 7:13:00 PM |
|
|
|
:: My Profile :: |
... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...
Join me on
Friendster!
|
:: Wisdom :: |
|
:: Recent Post :: |
|
:: Archives :: |
|
:: Menu :: |
|
:: LETTO Fans Blog :: |
|
:: NIDJIholic Blog :: |
Click Slide Show
|
:: Friends :: |
|
:: Games :: |
| |