|
Kekalahan, Kemenangan, Keindahan |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Oleh: Gede Prama Kompas, Sabtu, 25 April 2009
Entah sejak kapan, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan.
Di Jepang dan berbagai belahan dunia, banyak orang mengakhiri hidupnya hanya karena kalah. Hal-hal yang melekat pada kekalahan dinilai serba negatif: jelek, hina.
Sekolah sebagai tempat untuk menyiapkan masa depan juga ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah menguatkan keyakinan ”kalah itu musibah”. Tempat kerja juga serupa, tak ada yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semua mau naik pangkat, tak ada yang ingin turun. Terutama dunia politik, kekalahan hanyalah kesialan. Dan aroma seperti inilah yang mewarnai Indonesia pada awal April 2009, menjelang pemilu dan pilpres.
Kalah juga indah
Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar, pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Tapi, seberapa besar energi dan semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.
Karena itu, orang bijaksana melatih diri untuk tersenyum di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun, bila kalah, hanya senyuman yang memuliakan perjalanan.
Dihormati karena menang itu indah. Namun, tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang mendalam pandangannya yang bisa melakukan. Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memuliakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Di depan kekalahan, manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi menghaluskan.
Kesabaran, kerendahhatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Ia yang sudah membuka pintu ini akan berbisik, kalah juga indah!
Jarang terjadi ada manusia mengukir makna mendalam di tengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah membuat manusia lupa diri. Para pengukir makna yang mengagumkan, seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh, semuanya melakukannya di tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima Hadiah Nobel Perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh Senat AS setelah melewati kesedihan dan kekalahan puluhan tahun di pengasingan.
Memaknai kekalahan
Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realitas sebagaimana apa adanya dan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, selalu menuntut lebih, akan melihat kehidupan tak menyenangkan ada di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.
Belajar dari sini, titik awal memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan dalam mengerti, the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian akan memperpanjang penderitaan yang sudah panjang.
Seorang guru mengambil gelas yang berisi air, meminta muridnya memasukkan sesendok garam dan diaduk. Saat dicicipi, asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid itu ke kolam luas dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air kolam dan rasanya tidak lagi asin.
Itulah batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi), kehidupan pun menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Saat batinnya luas, tak satu hal pun bisa membuat kehidupan menjadi mudah asin.
Dengan modal ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa adalah tugas kehidupan. Namun, seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam.
Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal, dan hidup-mati hanyalah wajah putaran waktu. Persis saat jam menunjukkan pukul 06.00, saat Matahari terbit. Pukul 18.00, putaran waktu Matahari tenggelam. Memaksa agar pukul 06.00 Matahari tenggelam tidak saja akan ditertawakan, tetapi juga korban karena kecewa.
Memang terdengar aneh. Pejalan kaki yang sudah jauh ke dalam diri bila ditanya mau kaya atau miskin, akan memilih miskin. Atas menang atau kalah, ia akan memilih kalah. Kaya adalah berkah, namun sedikit ruang latihan di sana. Meski ditakuti banyak orang, kemiskinan menghadirkan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakan besar sekali. Nyaris semua orang tak ingin kalah, tetapi kekalahan adalah ibu kesabaran.
Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally I realize there is no difference between mind and sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) pun yang bisa mengubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan.
Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Bali Utara
Tulisan Gede Prama Yang Lain Ada Di SINI
Labels: Gede Prama |
posted by .:: me ::. @ 5:58:00 PM
|
|
|
Apakah Yang Kau Segerakan? |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Oleh: Mario Teguh
Ketahuilah bahwa aku sering lebih mempercayai kualitas-kualitas yang ada pada diri mu, daripada engkau sendiri dalam mempercayai yang seharusnya engkau percayai itu.
Mungkin karena aku tidak sepenuhnya hidup dalam hidupmu, aku hanya mencatat yang kau katakan saat engkau melambung ke langit dalam kebanggaan dari rencana-rencanamu, dan tidak turut merasa tak berdaya dalam malam-malam mu yang tanpa tidur – saat engkau menjadi tuan rumah bagi semua keraguan hati mu.
Engkau dilahirkan dengan semua kemungkinan yang sama untuk menjadi pribadi yang sejahtera, berbahagia, dan cemerlang.
Engkau dibesarkan dengan tujuan untuk menjadi lebih kuat sebagai pelaksana dari semua tindakan yang dibutuhkan untuk menjadikan dirimu pribadi yang mandiri.
Engkau diberikan ketergesaan sebagai nama dari gerakan utama dari hatimu.
Engkau dilahirkan di antara banyak orang yang menasehatkan dan meneladankan yang baik, dan yang membuktikan kebaikan dari kebaikan.
Di antara mereka, ada juga yang mencontohkan ketidak-setiaan kepada yang baik, agar engkau melihat ketidak-baikan yang menyiksa, dan agar engkau percaya bahwa tempat mu hanya ada di dalam kebaikan.
Tetapi, sahabat hatiku,
Camkanlah ini, bahwa:
Semua kehebatan mu dalam bermimpi, kelengkapan mu dalam berencana, dan kelantangan mu dalam berjanji; tidak lebih kuat daripada kecenderungan mu untuk menunda.
Ingat-ingatlah lagi.
Bukankah telah banyak malam-malam yang bermata lebar terjaga dalam impian-impian sadar mengenai hal-hal besar yang ingin kau capai?
Bukankah telah sering engkau berbaring gelisah menanti pagi yang tak kunjung merebak, karena engkau tak sabar untuk segera melakukan yang kau yakini malam itu sebagai jalan keluar dari kesulitan mu dan jalan masuk ke kehidupan impian mu?
Tetapi,
Untuk kemudian kau buktikan bahwa ketergesaan mu untuk bertindak – tertahan oleh perasaan kecil yang merayu, yang berkata dalam hatimu bahwa nanti adalah saat yang tepat untuk melakukannya, dan bahwa sekarang bukanlah waktunya.
Lawan dari ketergesaan untuk berhasil bukanlah kelambanan. Lawan dari ketergesaan untuk berhasil adalah ketergesaan untuk menunda yang memberhasilkan.
Sahabatku yang hatinya baik,
Sadarilah bahwa sebenarnya Tuhan hanya menyertakan kekuatan bersama kelahiran mu. Engkau sama sekali tidak dibekali kelemahan.
Lunak tulang-belulang mu saat kelahiran mu adalah kekuatan yang mengharuskan kehati-hatian pada perilaku orang-tua mu.
Kecil tubuh mu adalah kekuatan yang mengharuskan perlindungan dari orang-orang yang lebih besar.
Lucunya rancangan wajah dan anggota tubuh mu adalah kekuatan yang mewabahkan perasaan gemas untuk menjadikan mu harta keluarga.
Bisu dan gagu dari lidah mu sebagai bayi adalah kekuatan yang mengharuskan semua yang dewasa untuk berbicara dan bertingkah dengan semua cara yang belum mereka coba – agar engkau mengerti atau setidaknya sedikit tersenyum.
Sahabat jiwa ku,
Sebetulnya engkau dilahirkan sangat hebat.
Dan aku tak bisa membayangkan kekuatan yang bisa kau kembangkan, kebesaran yang bisa kau bangun, dan ketinggian yang bisa kau capai – jika engkau betul-betul menyegerakan penggunaan dari semua kekuatan diri mu.
Tetapi apa yang kemudian terjadi pada perhitungan mu, sama sekali sulit aku mengerti.
Engkau menggunakan ketidak-sabaran mu, sebagai kekuatan untuk tidak bersabar terhadap yang baik.
Engkau menggunakan kekuatan untuk bersabar, sebagai kekuatan untuk pasrah dan menerima yang tidak membesarkan mu.
Engkau menggunakan ketergesaan mu, sebagai kekuatan untuk memasukkan mu ke dalam masalah.
Dan yang lebih sering,
Engkau menggunakan ketergesaan mu, sebagai kekuatan untuk menyegerakan penundaan dan mendahulukan yang tidak bernilai.
Sahabat ku yang sedang dinantikan oleh kehidupan,
Janganlah engkau membantah yang ini, bahwa
Nilai dari yang kau lakukan, menentukan nilai dari yang kau capai.
Maka pertanyaan ku kepada mu, adalah
Apakah yang sedang kau lakukan itu bernilai?
Jika tidak, mengapakah engkau masih bertahan dalam melakukannya?
Apakah yang kau segerakan adalah yang akan menyegerakan kebahagiaan mu?
Jika tidak, mengapakah engkau mengeluhkan kelambatan hidup mu?
Apakah yang kau pertahankan saat ini adalah kesejahteraan yang harus kau pelihara?
Jika engkau tidak sejahtera, mengapakah engkau mempertahankan tempat dan cara-cara yang tidak menyejahterakan mu?
Apakah pendapat yang kau bela mati-matian itu adalah mesin penghasil kehebatan hidup mu?
Jika engkau harus berbicara tinggi untuk menutupi kerendahan kebanggaan mu terhadap dirimu sendiri, mengapakah engkau mempertahankan pendapat yang tidak menghebatkan mu?
Sekarang, Janganlah engkau menjauh dari ku. Ke sinilah engkau. Dekat-dekatlah sini.
Janganlah kau patuhi kebiasaan mu yang selama ini menjauhkan mu dari nasehat-nasehat baik.
Jika engkau merasa gelisah karena mendengar yang baik, engkau harus mengakui bahwa yang tidak baik telah lebih kuat menjadi tuan rumah di hati baik mu.
Sahabat ku yang aku kasihi,
Ketahuilah bahwa engkau adalah kekasih Tuhan. Tuhan sangat mencintai mu.
Bukankah sebetulnya hati mu mengetahui hal ini?
Tetapi mungkin kesulitan dalam hidup mu telah mendorong mu untuk mempertanyakan kasih sayang Tuhan. Meskipun sebetulnya engkau tahu, bahwa engkau adalah pemeran utama dalam penyulitan hidup mu sendiri.
Engkau memperhatikan-Nya atau tidak, Beliau tetap memperhatikan mu. Engkau meminta atau tidak, Beliau tetap memberi mu.
Tetapi ini yang harus kau ingat, bahwa
Jika engkau ingin Tuhan melebihkan perhatian-Nya kepada mu, lebihkanlah perhatian mu kepada-Nya.
Jika engkau ingin Tuhan melebihkan pemberian-Nya kepada mu, lebihkanlah alasan bagi kelebihan penerimaan mu.
Dan,
Jika engkau ingin Tuhan melayani mu, layanilah sesama mu.
Engkau yang hatinya baik,
Jadikanlah ini pegangan mu, karena sesama adalah semua ciptaan Tuhan, maka:
Melayani sesama adalah satu-satunya cara melayani Tuhan.
Maka sebelum aku meninggalkan mu untuk menyegerakan semua kecintaan ku, agar engkau menyegerakan kebaikan yang telah merindukan keceriaan mu, ini yang aku pesankan kepada mu untuk kau lakukan hari ini:
Bersegeralah untuk memperbarui perasaan mu dengan kegembiraan.
Bersegeralah untuk mentenagai gerakan mu dengan kecepatan yang terukur.
Bersegeralah untuk merupawankan wajah mu dengan senyum.
Bersegeralah untuk memperindah tutur kata mu dengan keramahan.
Bersegeralah untuk menganggunkan perilaku mu dengan kesantunan.
Dan,
Bersegeralah untuk mengutuhkan semua yang kau lakukan dengan doa.
Lalu, dalam damai hati mu, perhatikan apa yang terjadi ...
Sesungguhnya yang segera menjadi kualitas hidup mu, adalah yang kau segerakan.
Maka pertanyaan ku di akhir minggu ini untuk mu, adalah:
Apakah yang kau segerakan?
Labels: Mario Teguh |
posted by .:: me ::. @ 11:23:00 PM
|
|
|
Arti Kehidupan |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Oleh : Andrie Wongso
Alkisah, seorang pemuda mendatangi orang tua bijak yang tinggal di sebuah desa yang begitu damai. Setelah menyapa dengan santun, si pemuda menyampaikan maksud dan tujuannya. "Saya menempuh perjalanan jauh ini untuk menemukan cara membuat diri sendiri selalu bahagia, sekaligus membuat orang lain selalu gembira."
Sambil tersenyum bijak, orang tua itu berkata, "Anak muda, orang seusiamu punya keinginan begitu, sungguh tidak biasa. Baiklah, untuk memenuhi keinginanmu, paman akan memberimu empat kalimat. Perhatikan baik-baik ya..."
"Pertama, anggap dirimu sendiri seperti orang lain!" Kemudian, orang tua itu bertanya, "Anak muda, apakah kamu mengerti kalimat pertama ini? Coba pikir baik-baik dan beri tahu paman apa pengertianmu tentang hal ini."
Si pemuda menjawab, "Jika bisa menganggap diri saya seperti orang lain, maka saat saya menderita, sakit dan sebagainya, dengan sendirinya perasaan sakit itu akan jauh berkurang. Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami kegembiraan yang luar biasa, dengan menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka kegembiraan tidak akan membuatku lupa diri. Apakah betul, Paman?"
Dengan wajah senang, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan kata-katanya. "Kalimat kedua, anggap orang lain seperti dirimu sendiri!"
Pemuda itu berkata, " Dengan menganggap orang lain seperti diri kita, maka saat orang lain sedang tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan mengulurkan tangan untuk membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan dan keinginan orang lain. Berjiwa besar serta penuh toleransi. Betul, Paman?"
Dengan raut wajah makin cerah, orang tua itu kembali mengangguk-anggukkan kepala. Ia berkata, "Lanjut ke kalimat ketiga. Perhatikan kalimat ini baik-baik, anggap orang lain seperti mereka sendiri!"
Si anak muda kembali mengutarakan pendapatnya, "Kalimat ketiga ini menunjukkan bahwa kita harus menghargai privasi orang lain, menjaga hak asasi setiap manusia dengan sama dan sejajar. Sehingga, kita tidak perlu saling menyerang wilayah dan menyakiti orang lain. Tidak saling mengganggu. Setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan atau perbedaan pendapat, masing-masing bisa saling menghargai."
Kata orang tua itu, "Bagus, bagus sekali! Nah, kalimat keempat: anggap dirimu sebagai dirimu sendiri! Paman telah menyelesaikan semua jawaban atas pertanyaanmu. Kalimat yang terakhir memang sesuatu yang sepertinya tidak biasa. Karena itu, renungkan baik-baik."
Pemuda itu tampak kebingungan. Katanya, "Paman, setelah memikirkan keempat kalimat tadi, saya merasa ada ketidakcocokan, bahkan ada yang kontradiktif. Bagaimana caranya saya bisa merangkum keempat kalimat tersebut menjadi satu? Dan, perlu waktu berapa lama untuk mengerti semua kalimat Paman sehingga aku bisa selalu gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga gembira?"
Spontan, orang tua itu menjawab, "Gampang. Renungkan dan gunakan waktumu seumur hidup untuk belajar dan mengalaminya sendiri."
Begitulah, si pemuda melanjutkan kehidupannya dan akhirnya meninggal. Sepeninggalnya, orang-orang sering menyebut namanya dan membicarakannya. Dia mendapat julukan sebagai: "Orang bijak yang selalu gembira dan senantiasa menularkan kegembiraannya kepada setiap orang yang dikenal."
Sebagai makhluk sosial, kita dituntut untuk belajar mencintai kehidupan dan berinteraksi dengan manusia lain di muka bumi ini. Selama kita mampu menempatkan diri, tahu dan mampu menghargai hak-hak orang lain, serta mengerti keberadaan jati diri sendiri di setiap jenjang proses kehidupan, maka kita akan menjadi manusia yang lentur. Dengan begitu, di mana pun kita bergaul dengan manusia lain, akan selalu timbuk kehangatan, kedamaian, dan kegembiraan. Sehingga, kebahagiaan hidup akan muncul secara alami... luar biasa!
Source: Majalah Luar Biasa Ed.II, Feb.2009
Labels: Andrie Wongso |
posted by .:: me ::. @ 4:52:00 AM
|
|
|
|
:: My Profile :: |
... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...
Join me on
Friendster!
|
:: Wisdom :: |
|
:: Recent Post :: |
|
:: Archives :: |
|
:: Menu :: |
|
:: LETTO Fans Blog :: |
|
:: NIDJIholic Blog :: |
Click Slide Show
|
:: Friends :: |
|
:: Games :: |
| |