|
Orang Mengalah Itu Bijaksana |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
PREDIKAT miring banyak tertuju pada kita. Disebut, misalnya, bangsa yang sakit, pemalas, penjiplak, pengutang, penipu, pendusta, koruptor, teroris, peracun, tukang gontok-gontokan, dan predikat jelek lain. Stempel tak sedap itu muncul dari berbagai kalangan. Saya hanya bisa mengurut dada.
Jelas-jelas, misalnya, lampu di perempatan menyala merah, eh, nyelonong terus. Polisi di depan mata pun tak digubris, dan memang tak bisa berbuat apa-apa. Negeri ini seperti tak berhukum. Saat kendaraan dia kesenggol pengendara lain, mata dipelototkan liar sembari mulut mengumpat: ''Matamu ditaruh di mana?''
Ya, otak siapa sebenarnya yang perlu disekolahkan? Saat begitu, jangan tanya soal kebenaran. Bila tak ingin memanjangkan soal, lebih baik mengalah: ''Maaf.'' Wong ngalah iku luhur pungkasane, orang mengalah itu bijaksana. Pemaafan itu kemuliaan. Memang, sekali waktu mbudek terasa lebih mulia.
Predikat ''sakit'' ini sepertinya mendekati tepat. Simak pula; seorang mantan jawara yang telah lanjut usia masih petantang-petenteng membawa golok. Jalannya pun tidak tegak lagi. Tapi galaknya minta ampun. Pohon peneduh jalan ditebang, walau bukan dia yang menanam. Ketika ditanya siapa yang bertangan usil? Jawab dia: ''Mau dibabat sekalian?'' Elok tenan!
Ya, otak siapa sebenarnya yang perlu dididik? Persis saat si pengutang ditagih, dan jawaban dia jauh lebih galak dari yang ngutangin. Menagih hak, kok, harus merengek-rengek kayak pengemis. Ada pula yang pura-pura lupa. Makan hati! Lebih celaka jika si pengutang membalik omongan: ''Mana bukti utang saya.''
Ngutangi yang berbasis kekeluargaan pun tererosi pelan-pelan. Padahal, orang yang melalaikan umurnya --walau cuma satu tarikan napas-- terancam penyesalan yang tiada akhir dan kerugian yang tiada habis. Maka, kata Imam Al-Ghazali, ''Penuhilah seluruh siang dan malam dengan ketaatan.'' Tentunya, terhadap apa saja untuk dunia dan akhirat.
Kepusingan otak saya makin kompleks jika mengamati koran. Musibah gempa, tsunami, longsor, banjir, dan lain-lain silih berganti menimpa bangsa ini, dan diperparah oleh kenaikan harga-harga. Bahkan sebentar lagi tarif dasar listrik naik. Industri bakal kolaps. Nelayan pun megap-megap karena harga es (pengawet ikan) ikut melonjak.
Gelombang PHK bakal tak terelakkan. Pendapatan makin minim. Penggajian di negeri ini juga tak proporsional, dan perlu penataan ulang. Jaraknya kayak bumi dan langit, hingga memperdalam jurang kemiskinan. Sementara itu, di mal dan supermarket dipertontonkan orang berlomba menghabiskan uang. Juga ada pejabat yang mantu menghabiskan milyaran rupiah.
Gerak ''akar rumput'' itulah yang mengkhawatirkan Kiai Syarif Hidayatullah, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda, Sragen, Jawa Tengah. ''Jika rumput grinting mulai nyerimpet, rumput lawatan mulai nggubet dan kena upas rumput teki, pemerintah bakal repot. Kasihan pemerintah,'' katanya.
Rakyat yang tidak punya apa-apa (makanan, pekerjaan, dan harapan) lagi pasti bakal frustrasi. Sebagai ''rumput'', mereka hanya diinjak-injak, tanpa dipedulikan. Orang zalim --yang punya otoritas-- malah menggusur orang-orang baik. Zaman pun terbolak-balik. Untuk itu, Kiai Syarif melakukan ruwatan, melarungkan tiga jenis rumput tadi ke Bengawan Solo, didahului zikir dan mujadahan.
Itulah harapan Kiai Syarif dan kita, tentunya. Persis harapan yang ditulis Paulus Winarto dalam Reach Your Maximum Potential. Adalah kisah empat lilin, yang satu per satu mulai meleleh dan padam. Lilin pertama berkata, ''Aku adalah damai, namun manusia tidak mampu menjaganya. Jadi, lebih baik aku matikan diriku.'' Pet!
Lilin kedua mulai berkata, ''Aku adalah iman. Sayang, aku tidak berguna lagi. Manusia tidak mau mengenalku. Tidak ada gunanya kalau aku tetap menyala.'' Tiupan angin pun mematikannya dalam sekejap. Ruangan mulai agak gelap.
Lilin ketiga gantian berbicara: ''Aku adalah cinta. Aku tidak lagi mampu untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci pada mereka yang mencintai. Membenci keluarga sendiri.'' Lilin ketiga pun padam.
Tiba-tiba, masuk seorang bocah ke ruangan itu. Perasaan takutnya menyergap. Dia pun menangis, takut pada gelap. Tangisan itu tak lama, karena dihentikan oleh lilin keempat. ''Jangan takut dan jangan menangis. Selama aku masih ada dan menyala, kita akan selalu dapat menyalakan ketiga lilin lainnya,'' kata lilin keempat. Itulah lilin ''harapan''.
Dan, bocah itu pun menyalakan ketiga lilin yang telah padam. Jadi? Aku, juga Anda mestinya, tidak perlu mbudek menghadapi keterpurukan bangsa ini. Kita masih punya titik terang. Kita tak boleh tergoyahkan oleh hal-hal yang menyesatkan. Orang-orang sukses selalu melawan kakalahan dan kesengsaraan, tanpa pernah mengenal menyerah dan kecewa. Juga kita, tentunya!
(Sumber: Gatra oleh Widi Y.) |
posted by .:: me ::. @ 7:07:00 AM |
|
1 Comments: |
-
I'm impressed with your site, very nice graphics! »
|
|
<< Home |
|
|
|
|
:: My Profile :: |
... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...
Join me on
Friendster!
|
:: Wisdom :: |
|
:: Recent Post :: |
|
:: Archives :: |
|
:: Menu :: |
|
:: LETTO Fans Blog :: |
|
:: NIDJIholic Blog :: |
Click Slide Show
|
:: Friends :: |
|
:: Games :: |
| |
I'm impressed with your site, very nice graphics!
»