|
Self Esteem, Self Confidence, Pride |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Dua orang lelaki yang datang bertamu ke rumah seorang bijak tertegun keheranan. Mereka melihat si orang bijak sedang bekerja keras. Ia mengangkut air dalam ember kemudian menyikat lantai rumahnya. Keringatnya deras bercucuran.
Menyaksikan keganjilan ini salah seorang lelaki ini bertanya, "Apakah yang sedang engkau lakukan hai orang bijak?" Orang bijak menjawab, "Tadi aku kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat kepadaku. Aku memberikan banyak nasihat yang sangat bermanfaat bagi mereka. Merekapun tampak puas dan bahagia mendengar semua perkataanku. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba aku merasa menjadi orang yang hebat. Kesombonganku mulai bermunculan. Karena itu, aku melakukan pekerjaan ini untuk membunuh perasaan sombongku itu."
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua yang benih-benihnya sering muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong sering disebabkan karena faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih cantik, dan lebih terhormat daripada orang lain. Di tingkat kedua, sombong sering disebabkan faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, lebih bijaksana dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain. Di tingkat ketiga, sombong sering disebabkan faktor kebaikan. Kita seringkali menganggap diri kita lebih berakhlak, lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan ini, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi akan sangat mudah terlihat tetapi sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih yang halus di dalam hati kita.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Pada tataran yang wajar, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Namun, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Bahkan, seringkali batas antara bangga dan sombong tak terlalu jelas.
Diri kita sebenarnya terdiri atas dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan diri sejati di lain kutub. Pada saat dilahirkan ke dunia, kita sepenuhnya berada dalam kutub diri sejati, kita lahir dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Kita sama sekali bebas dari materi apapun. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai memiliki berbagai kebutuhan materi. Bahkan, lebih dari sekedar yang kita butuhkan dalam hidup, kelima indra kita selalu mengatakan bahwa kita membutuhkan yang lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup seringkali mengantarkan kita menuju kutub ego. Perjalanan inilah yang memperkenalkan kita kepada kesombongan, kerakusan, serta iri dan dengki. Ketiga sifat ini adalah akar segala permasalahan yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Perjuangan melawan kesombongan sebenarnya adalah perjuangan menarik diri kita ke kutub diri sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya ada dua perubahan paradigma yang perlu Anda lakukan. Pertama, Anda perlu menyadari bahwa hakikat manusia adalah diri sejati, kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual.
Diri sejati kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah syarat kita untuk hidup di dunia. Kita lahir tanpa membawa apa-apa, dan kita mati pun tanpa membawa apa-apa. Pandangan seperti ini akan membuat Anda melihat siapapun sebagai manusia yang sama. Anda tidak akan lagi tertipu oleh penampilan, kecantikan, dan segala "tampak luar" yang lain. Yang kini Anda lihat adalah "tampak dalam." Pandangan seperti ini sudah pasti akan menjauhkan Anda dari berbagai kesombongan. Kedua, Anda perlu menyadari bahwa apapun perbuatan baik yang Anda lakukan, semuanya itu semata-mata adalah untuk diri Anda sendiri. Anda menolong orang untuk kebaikan Anda sendiri. Anda memberikan sesuatu kepada orang lain adalah untuk Anda sendiri.
Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi: Energi yang Anda berikan kepada dunia tak akan pernah hilang. Energi itu akan kembali kepada Anda dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang Anda lakukan pasti akan kembali kepada Anda dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, perasaan bermakna maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik pada orang lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apalagi yang harus kita sombongkan?
:: unknwn::
|
posted by .:: me ::. @ 5:44:00 PM
|
|
|
Cinta, Jangan Kau Pergi |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Oleh : Arvan Pradiansyah
Sebuah foto yang sangat mengharukan terpampang di depan mata saya. Foto itu menggambarkan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan empat anaknya yang sedang berjalan dengan penuh kekhawatiran. Si ayah menggendong anaknya yang masih kecil, begitu pula dengan si ibu. Sementara kedua anaknya yang lain berpegangan erat pada tangan ayah dan ibunya sambil menenteng sebuah tas besar. Mereka harus melewati medan yang cukup berat di tengah gempuran pesawat dan rudal-rudal mutakhir yang siap menghajar siapa pun. Hidup mereka bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Keluarga ini sedang berjuang untuk bisa keluar dari Libanon di tengah keganasan serbuan tentara Israel yang siap membunuh siapa saja.
Dada saya terasa sesak menyaksikan pemandangan seperti ini. Saya begitu trenyuh dan tak terasa air mata mulai menetes. Saya seakan-akan sedang menyaksikan diri saya sendiri, keluarga saya, anak-anak saya yang berada dalam kondisi seperti itu. Agresi Israel ke Libanon meninggalkan begitu banyak luka dan kepedihan. Tentara Israel membombardir kota dan membunuh siapa pun yang mereka lihat. Mereka adalah orang-orang yang telah kehilangan belas kasih. Mereka telah menumpulkan hati mereka sendiri, dan tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk sebuah cahaya yang bernama cinta.
Sebuah pemandangan yang memilukan pernah pula direkam oleh kamera televisi pada saat terjadi agresi Amerika Serikat ke Irak tiga tahun yang lalu. Sepasang suami-istri menggendong kedua anak mereka yang terluka parah. Si adik telah meninggal dunia, sedangkan si kakak sedang sekarat. Kamera televisi pun mengabadikan pemandangan yang memilukan itu: saat-saat terakhir ketika si kakak mengembuskan napasnya yang terakhir dalam dekapan kedua orang tuanya.
Saya sering membayangkan, apa yang akan terjadi jika para pengambil keputusan di AS dan Israel kehilangan anak-anak, keluarga dan orang yang mereka cintai dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Mungkin hanya pengalaman semacam itulah yang hendak menyadarkan mereka mengenai betapa kejamnya perbuatan yang telah mereka lakukan. Mungkin hanya pengalaman semacam itulah yang hendak mengajarkan pada mereka mengenai arti dan hakikat cinta yang sesungguhnya.
Cinta senantiasa dimulai dengan berhenti memikirkan diri sendiri dan mulai memikirkan orang lain. Cinta hanya dapat ditumbuhkan dengan membayangkan diri kita ketika kita berada dalam posisi orang lain. Tanpa kemampuan seperti ini saya berani menjamin bahwa cinta tak akan pernah ada di dalam diri kita.
Labels: Arvan Pradiansyah |
posted by .:: me ::. @ 12:32:00 PM
|
|
|
The Choice |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Ada sebuah cerita yang menarik yang menggambarkan tentang pilihan kita dalam menghadapi masalah dan lingkungannya. Semua pilihan tergantung diri kita sendiri.
Seorang pemuda menunggangi seekor kuda dengan semua bawaannya sedang menuju sebuah desa di lembah gunung, dengan rencana menetap di sana. Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang tua yang berjalan dari arah desa tersebut.
Dia berhenti sejenak dan bertanya kepada orang tua itu: “Bagaimana keadaan di desa di depan? Bagaimana orang-orangnya?” Sang orang tua balik bertanya “Bagaimana keadaan di desa tempat asal kamu?” Sang pemuda menjawab dengan penuh emosi “Sangat tidak baik. Semua orang hanya mau berargumentasi, mau menang sendiri, semua orang saling menusuk dari belakang, tidak ada yang adil, permusuhan, politik, dll…dll.. karena itu saya ingin pergi dari sana” Orang tua itupun menjawab “Kalau begitu, kamu akan menemukan hal yang sama di desa di depan” Lalu melanjutkan perjalanannya, meninggalkan si pemuda.
Seorang pemuda lain, yang juga sedang menuju ke desa itu, berpapasan dengan orang tua yang sama. Dia pun bertanya hal yang sama, bagaimana keadaan desa di depannya. Orang tua itu pun menanyakan hal yang sama “Bagaimana keadaan di desa asal kamu?” Sang pemuda tersenyum dan berkata “Indah sekali, orang-orangnya baik, mau bertukar pandangan, terbuka, pernuh persaingan yang menggairahkan, menantang, dan memberikan kesempatan berstrategi”
Sang orang tua pun menjawab “Kalau begitu, kamu akan menemukan hal yang sama di desa di depan”
|
posted by .:: me ::. @ 12:54:00 PM
|
|
|
Si Ateis Melawan Si Bijak |
|
Oleh : Arvan Pradiansyah
Suatu ketika terjadilah perdebatan antara seorang bijak dan seorang ateis. Supaya dapat memberikan manfaat bagi orang banyak, maka disepakatilah suatu hari di mana perdebatan itu akan dilangsungkan di alun-alun kota. Aturan mainnya cukup berat, yakni: siapa yang kalah harus rela dipenggal kepalanya.
Pada hari yang telah ditentukan, si ateis telah siap sejak pagi hari. Karena si bijak belum nampak juga, si ateis memulai pidatonya dengan mengemukakan semua argumennya untuk membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada. Ia pun mengatakan bahwa si bijak tak jadi datang karena takut kalah berdebat dan menghadapi hukuman penggal.
Namun menjelang tengah hari, si bijak hadir dengan tergopoh-gopoh. Ia dimaki oleh si ateis dari atas mimbar, ”Mengapa kamu terlambat?” Orang bijak menjawab, ”Sebetulnya saya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Tetapi seperti yang Anda ketahui, antara rumah saya dan tempat ini dihalangi sungai yang sangat besar. Sayangnya, tak ada kendaraan yang dapat menyeberangkan saya. Saya juga tak bisa berenang. Jadi saya menunggu di tepi sungai dan berdoa agar bisa datang tepat pada waktunya. Tiba-tiba saya melihat pecahan-pecahan papan tersebar di seluruh permukaan sungai. Pecahan-pecahan itu kemudian berkumpul satu sama lain dan akhirnya membentuk sebuah perahu, dan saya pun menaikinya.”
Mendengar hal tersebut segera si ateis berteriak, ”Ini sebuah kebohongan yang sangat menggelikan. Mana mungkin pecahan-pecahan papan dapat berkumpul dan membentuk perahu dengan sendirinya?” Orang bijak menjawab, ”Mana mungkin juga seluruh alam semesta ini berkumpul satu sama lain dengan sendirinya dan membentuk seluruh sistem yang sangat menakjubkan? Mana mungkin darah, daging dan tulang dapat berkumpul menjadi kamu?”
Sebuah argumen yang luar biasa. Argumen ini meruntuhkan semua teori si ateis dan membuatnya benar-benar tersudut.
Saya yakin kalau Anda berada dalam posisi si ateis, Anda pun akan langsung mengakui kebenaran kata-kata si bijak.
Labels: Arvan Pradiansyah |
posted by .:: me ::. @ 12:39:00 PM
|
|
|
Pedagang & Nelayan |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Suatu hari, seorang pedagang kaya datang berlibur ke sebuah pulau yang masih asri. Saat merasa bosan, dia berjalan-jalan keluar dari villa tempat dia menginap dan menyusuri tepian pantai. Terlihat Di sebuah dinding karang seseorang sedang memancing, dia menghampiri sambil menyapa,
"Sedang memancing ya pak?", sambil menoleh si nelayan menjawab,
"Benar tuan. Mancing satu-dua ikan untuk makan malam keluarga kami". "Kenapa cuma satu-dua ikan pak? Kan banyak ikan di laut ini, kalau bapak mau sedikit lebih lama duduk disini, tiga-empat ekor ikan pasti dapat kan?" Kata si pedagang yang menilai si nelayan sebagai orang malas. "Apa gunanya buat saya ?" tanya si nelayan keheranan.
"Satu-dua ekor disantap keluarga bapak, sisanya kan bisa dijual. Hasil penjualan ikan bisa ditabung untuk membeli alat pancing lagi sehingga hasil pancingan bapak bisa lebih banyak lagi" katanya menggurui. "Apa gunanya bagi saya?" tanya si nelayan semakin keheranan. "Begini. Dengan uang tabungan yang lebih banyak, bapak bisa membeli jala. Bila hasil tangkapan ikan semakin banyak, uang yang dihasilkan juga lebih banyak, bapak bisa saja membeli sebuah perahu. Dari satu perahu bisa bertambah menjadi armada penangkapan ikan. Bapak bisa memiliki perusahaan sendiri. Suatu hari bapak akan menjadi seorang nelayan yang kaya raya".
Nelayan yang sederhana itu memandang si turis dengan penuh tanda tanya dan kebingungan. Dia berpikir, laut dan tanah telah menyediakan banyak makanan bagi dia dan keluarganya, mengapa harus dihabiskan untuk mendapatkan uang? Mengapa dia ingin merampas kekayaan alam sebanyak-banyaknya untuk dijual kembali. Sungguh tidak masuk diakal ide yang ditawarkan kepadanya.
Sebaliknya, merasa hebat dengan ide bisnisnya si pedagang kembali meyakinkan, "Kalau bapak mengikuti saran saya, bapak akan menjadi kaya dan bisa memiliki apa pun yang bapak mau". "Apa yang bisa saya lakukan bila saya memiliki banyak uang?" tanya si nelayan. "Bapak bisa melakukan hal yg sama seperti saya lakukan, setiap tahun bisa berlibur, mengunjungi pulau seperti ini, duduk di dinding pantai sambil memancing". "Lho, bukankan hal itu yang setiap hari saya lakukan tuan, kenapa harus menunggu berlibur baru memancing?", kata si nelayan menggeleng-gelengkan kepalanya semakin heran. Mendengar jawaban si nelayan, si pedagang seperti tersentak kesadarannya bahwa untuk menikmati memancing ternyata tidak harus menunggu kaya raya.
Pepatah mengatakan, jangan mengukur baju dengan badan orang lain. Si pedagang mungkin benar melalui analisa bisnisnya, dia merasa apa yang dilakukan oleh si nelayan terlalu sederhana, monoton dan tidak bermanfaat. Mengeruk kekayaan alam demi mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya adalah wajar baginya. Sedangkan bagi si nelayan, dengan pikiran yang sederhana, mampu menerima apapun yang diberikan oleh alam dengan puas dan ikhlas. Sehingga hidup dijalani setiap hari dengan rasa syukur dan berbahagia.
Memang ukuran "bahagia", masing-masing orang pastilah tidak sama. Semua kembali kepada keikhlasan dan cara kita mensyukuri, apapun yang kita miliki saat ini.
Oleh : Andrie Wongso
Labels: Andrie Wongso |
posted by .:: me ::. @ 6:39:00 AM
|
|
|
Menghargai Perbedaan |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Suatu waktu, ada seorang mahaguru yang ingin mengambil waktu dari kehidupannya sehari-hari sebagai akademisi. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pantai dan meminta seorang nelayan untuk membawanya pergi melaut sampai ke horizon.
Seperempat perjalanan, mahaguru tersebut bertanya, "Wahai nelayan, apakah Anda mengenal ilmu geografi?" Sang nelayan menjawab, "ilmu geografi yang saya ketahui adalah kalau di laut sudah mulai sering ombak pasang, maka musim hujan segera akan tiba." "Nelayan bodoh!" kata mahaguru tersebut. "Tahukah kamu bahwa dengan tidak menguasai ilmu geografi kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu."
Seperempat perjalanan berikutnya, mahaguru tersebut bertanya pada nelayan apakah dia mempelajari ilmu biologi dan sains? Sang nelayan menjawab bahwa ilmu biologi yang dia kenal hanyalah mengetahui jenis ikan apa saja yang dapat dimakan. "Nelayan bodoh, dengan tidak menguasai sains kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu." Kemudian mahaguru tersebut bercerita tentang Tuhan yang menciptakan umat manusia dengan struktur tubuh, kapasitas otak yang sama, dan lain-lain. Selanjutnya mahaguru tersebut bertanya apakah nelayan tersebut mempelajari matematika? Sang nelayan menjawab bahwa matematika yang dia ketahui hanyalah bagaimana cara menimbang hasil tangkapannya, menghitung biaya yang sudah dikeluarkannya, dan menjual hasil tangkapannya agar dapat menghasilkan keuntungan secukupnya. Lagi-lagi mahaguru tersebut mengatakan betapa bodohnya sang nelayan dan dia sudah kehilangan lagi seperempat kehidupannya.
Kemudian, di perjalanan setelah jauh dari pantai dan mendekati horizon, mahaguru tersebut bertanya, "apa artinya awan hitam yang menggantung di langit?" "Topan badai akan segera datang, dan akan membuat lautan menjadi sangat berbahaya." Jawab sang nelayan. "Apakah bapak bisa berenang?" Tanya sang nelayan. Ternyata sang mahaguru tersebut tidak bisa berenang. Sang nelayan kemudian berkata, "Saya boleh saja kehilangan tiga-perempat kehidupan saya dengan tidak mempelajari tiga subyek yang tadi diutarakan oleh mahaguru, tetapi mahaguru akan kehilangan seluruh kehidupan yang dimiliki."
Kemudian nelayan tersebut meloncat dari perahu dan berenang ke pantai sedangkan mahaguru tersebut tenggelam. Demikian juga dalam kehidupan kita, baik dalam pekerjaan ataupun pergaulan sehari-hari. Kadang-kadang kita meremehkan teman, anak buah ataupun sesama rekan kerja. Kalimat "tahu apa kamu" atau "si anu tidak tahu apa-apa" mungkin secara tidak sadar sering kita ungkapkan ketika sedang membahas sebuah permasalahan. Padahal, ada kalanya orang lain lebih mengetahui dan mempunyai kemampuan spesifik yang dapat mengatasi masalah yang timbul.
Seorang operator color mixing di pabrik tekstil atau cat mungkin lebih mengetahui hal-hal yang bersifat teknis daripada atasannya. Intinya, orang yang menggeluti bidangnya sehari-hari bisa dibilang memahami secara detail apa yang dia kerjakan dibandingkan orang 'luar' yang hanya tahu 'kulitnya' saja. Mengenai kondisi dan kompetisi yang terjadi di pasar, pengetahuan seorang marketing manager mungkin akan kalah dibandingkan dengan seorang salesperson atau orang yang bergerak langsung di lapangan. Atau sebaliknya, kita sering menganggap remeh orang baru. Kita menganggap orang baru tersebut tidak mengetahui secara mendalam mengenai bisnis yang kita geluti. Padahal, orang baru tersebut mungkin saja membawa ide-ide baru yang dapat memberikan terobosan untuk kemajuan perusahaan.
Sayangnya, kadang kita dibutakan oleh ego, pengalaman, pangkat dan jabatan kita sehingga mungkin akan menganggap remeh orang lain yang pengalaman, posisi atau pendidikannya di bawah kita. Kita jarang bertanya pada bawahan kita. Atau pun kalau bertanya, hanya sekedar basa-basi, pendapat dan masukannya sering dianggap sebagai angin lalu. Padahal, kita tidak bisa bergantung pada kemampuan diri kita sendiri, kita membutuhkan orang lain.
Keberhasilan kita tergantung pada keberhasilan orang lain. Begitu sebuah masalah muncul ke permukaan, kita tidak bisa mengatasinya dengan hanya mengandalkan kemampuan yang kita miliki. Kita harus menggabungkan kemampuan kita dengan orang lain. Sehingga bila perahu kita tenggelam, kita masih akan ditolong oleh orang lain yang kita hargai kemampuannya. Tidak seperti mahaguru yang akhirnya ditinggalkan di perahu yang sedang dilanda topan badai dan dibiarkan mati tenggelam karena tidak menghargai kemampuan nelayan yang membawanya.
Yang jadi pertanyaan kita sekarang, apakah kita masih suka bertingkah laku seperti sang mahaguru?
:: unknown ::
|
posted by .:: me ::. @ 12:54:00 PM
|
|
|
Pribadi Yang Tangguh |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Baik buruknya kehidupan kita ternyata sangat ditentukan oleh pikiran. Kendalikan pikiran ke arah positif, maka kita tidak menjadi sosok emosional melainkan faktual. Hidup kita akan bahagia, percaya diri, optimis, dan penuh gairah. Pikiran merupakan kekuatan paling menakjubkan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan kekuatan pikiran, manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan, membangun harapan-harapan baru, dan membuat mimpi-mimpi menjadi kenyataan. Bahkan, dengan kekuatan pikiran, kualitas hidup seseorang bisa ditentukan.
Hampir semua sistem kehidupan kita, gerak tubuh, suasana hati, bahkan hidup kita, dikontrol oleh pikiran. Demikian pula halnya dengan perasaan kita, dengan informasi yang terkumpul di otak, pikiran memberikan perintah-perintah khusus kepada "hati" untuk menentukan suasana yang diinginkan. Pikiran kita akan mengolahnya dan menghasilkan instruksi, umpamanya, instruksi agar kita menyesal atau sedih karena habis bertengkar.
Bila pengaruh pikiran sangat kuat terhadap perasaan kita, berarti kita orang faktual, orang yang selalu bertindak atau bersikap berdasarkan fakta. Tetapi bila pengaruh pikiran sangat lemah terhadap perasaan kita, maka kita termasuk orang sensitif.
Orang faktual biasanya lebih mampu mengendalikan perasaan. Soalnya, pikirannya mampu mengolah fakta-fakta yang terekam di otak secara lebih mendetil sebelum dimasukkan ke "hati". Sebaliknya, orang sensitif akan cenderung emosional, karena biasanya pada saat merespons realitas yang tengah dihadapi, pikirannya tidak mengolah kembali fakta-fakta yang terekam di otak, akan tetapi langsung memasukkannya ke dalam "hati" apa adanya. Ia mengolah informasi dengan perasaannya.
Proses itulah yang menyebabkan orang faktual cenderung tenang, penuh perhitungan, dan mampu mengendalikan diri. Sebaliknya, orang sensitif cenderung cepat gelisah, tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan, tidak sabar, dan sukar mengendalikan diri.
Dengan pengoptimalan pikiran, kita dapat mengendalikan perasaan dan juga kehidupan ke arah yang kita inginkan. Dengan pikiran kita dapat mengubah perasaan sedih menjadi perasaan senang, takut menjadi berani, minder menjadi percaya diri, pesimis menjadi optimis, atau bosan menjadi penuh gairah. Maka tidak salah bila seorang filsuf, Marcus Aurelius, memiliki pandangan bahwa "Hidup kita ditentukan oleh pikiran".
Kalau berpikir tentang hal-hal menyenangkan, maka kita akan menjadi senang. Jika memikirkan hal-hal menyedihkan, kita akan sedih. Stanley R. Welty, Presiden Wooster Brush Company, berpendapat, "Pada saat keluar rumah di pagi hari, kita sendirilah yang menentukan apakah hari itu akan jadi baik atau buruk, karena tergantung bagaimana kita menjalankan pikiran kita. Dapat tidaknya kita menikmati hari itu sangat tergantung pada cara kita berpikir."
Kalau merasa kantung kita menipis, lalu mengeluh seakan-akan kita orang paling sial, bisa jadi hari itu menjadi hari paling membosankan. Tapi bila kita bangun pagi, memandang keluar jendela dan melihat bagaimana burung-burung bersiul menyambut pagi sambil merasakan kesejukan embun, mungkin kita akan mendapati hari itu sebagai hari baik. Bagaimana pun cuaca hari itu, bagaimana pun beratnya masalah yang dipikul hari itu, pikiranlah yang menentukan kehidupan kita. Yang kita pikirkan ketika itu, itulah hidup kita.
Bila dalam kesedihan kita mencoba tersenyum, sebenarnya kita tengah mencoba melepaskan diri dari perasaan sedih itu. Saat itu kita tengah menetralkan perasaan negatif di dalam diri. Hal ini sangat baik dan bisa membantu agar kita tidak terlalu larut dalam duka.
Memang, ada banyak hal yang menyakitkan, yang membuat kita cemas atau kesal. Namun jangan larutkan diri di dalamnya. Jangan biarkan masalah apa pun membuat kita patah semangat. Berpikirlah pada hal-hal positif yang bisa dilakukan. Dengan begitu kita akan menjadi orang tangguh yang tak mudah jatuh. Pikiran kita menjadi terbiasa untuk selalu positif, Dan yang lebih penting, hidup kita akan menjadi lebih menyenangkan.
:: intisari ::
|
posted by .:: me ::. @ 12:55:00 PM
|
|
|
Jangan Pernah Menyerah!! |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Suatu hari aku memutuskan untuk berhenti. Berhenti dari pekerjaanku, berhenti dari hubunganku dengan sesama dan berhenti dari spiritualitasku. Aku pergi ke hutan untuk bicara dengan Tuhan untuk yang terakhir kalinya.
"Tuhan", kataku, "Berikan aku satu alasan untuk tidak berhenti?"
Dia memberi jawaban yang mengejutkanku. "Lihat ke ke selilingmu" , kataNya. "Apakah engkau memperhatikan tanaman pakis dan bambu yang ada dihutan ini?" "Ya", jawabku.
Lalu Tuhan berkata, "Ketika pertama kali Aku menanam mereka, Aku menanam dan merawat benih-benih mereka dengan seksama. Aku beri mereka cahaya, Aku beri mereka air, pakis-pakis itu tumbuh dengan sangat cepat. Warna hijaunya yang menawan menutupi tanah namun...,pada benih bambu tidak ada terjadi apa-apa, tapi Aku tidak berhenti merawatnya.
Dalam tahun kedua, pakis-pakis itu tumbuh lebih cepat dan lebih banyak lagi. Namun, tetap tidak ada yang terjadi dari benih bambu. Tetapi Aku tidak menyerah terhadapnya. Dalam tahun ketiga tetap tidak ada yang tumbuh dari benih bambu itu, tapi Aku tetap tidak menyerah begitu juga dengan tahun ke empat. Lalu pada tahun ke lima sebuah tunas yang kecil muncul dari dalam tanah. Dibandingkan dengan pakis, tunas itu kelihatan begitu kecil dan sepertinya tidak berarti. Namun enam bulan kemudian, bambu ini tumbuh dengan mencapai ketinggian lebih dari 100 kaki. Dia membutuhkan waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar-akarnya. Akar-akar itu membuat dia kuat dan memberikan apa yang dia butuhkan untuk bertahan. Aku tidak akan memberikan ciptaanku tantangan yang tidak bisa mereka tangani."
"Tahukan engkau, dari semua waktu pergumulanmu, sebenarnya engkau sedang menumbuhkan akar-akarmu? Aku tidak menyerah terhadap bambu itu, Aku juga tidak akan pernah menyerah terhadapmu." Tuhan berkata "Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bambu-bambu itu memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan pakis tapi keduanya tetap membuat hutan ini menjadi lebih indah." "Saat mu akan tiba", Tuhan mengatakan itu kepadaku. "Engkau akan tumbuh sangat tinggi" "Seberapa tinggi aku harus bertumbuh Tuhan?" tanyaku. "Sampai seberapa tinggi bambu-bambu itu dapat tumbuh?" Tuhan balik bertanya. "Setinggi yang mereka mampu?" aku bertanya. "Ya." jawabNya, "Muliakan Aku dengan pertumbuhan mu, setinggi yang engkau dapat capai."
Lalu aku pergi meninggalkan hutan itu, menyadari bahwa Allah tidak akan pernah menyerah terhadapku dan Dia juga tidak akan pernah menyerah terhadap anda. Jangan pernah menyesali hidup yang saat ini anda jalani sekalipun itu hanya untuk satu hari. Hari-hari yang baik memberikan kebahagiaan; hari-hari yang kurang baik memberi pengalaman; kedua-duanya memberi arti bagi kehidupan ini.
:: unknown ::
|
posted by .:: me ::. @ 12:38:00 PM
|
|
|
Orang Beragama Belum Tentu Baik |
|
Oleh : Arvan Pradiansyah
Dalam sebuah acara Life Excellence di Radio Trijaya beberapa waktu yang lalu, saya mengangkat sebuah topik panas berjudul, “Orang Beragama atau Orang Baik?” Waktu itu saya membahas fenomena menarik, yaitu mengenai banyaknya orang beragama yang ternyata tidak baik. Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak beragama atau tidak menjalankan agamanya dengan baik, tetapi dalam kehidupan sehari-hari adalah orang yang baik. Acara ini mendapatkan banyak respons dari pendengar baik melalui telepon maupun SMS. Banyak yang mendukung, tapi beberapa SMS mengecam bahkan memaki-maki saya.
Padahal saya tidak sedang mempromosikan bahwa kita sebaiknya tidak perlu beragama asalkan sudah bisa menjadi orang yang baik. Saya hanya ingin mengajak kita berpikir mengapa agama seolah-olah tidak berhasil membuat penganutnya menjadi orang yang baik. Mengapa Indonesia yang dikenal sangat religius sekaligus juga dikenal sebagai negeri terkorup di dunia? Mengapa kita juga memperoleh predikat nomor dua untuk pornografi dan nomor tiga untuk masalah narkoba?
Padahal kalau dipikir-pikir apa sih kekurangan kita. Kita shalat dan bukankah shalat dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar? Kita berpuasa dan bukankah puasa mestinya menghasilkan manusia-manusia yang takwa? Jemaah haji kita terbesar jumlahnya di dunia, dan bukankah haji seharusnya melahirkan agent of change? Namun mengapa kita malah menjadi sarang korupsi, narkoba dan pornografi?
Setelah merenungkannya dengan mendalam, saya menemukan paling tidak tiga kesalahan pokok dalam memaknai agama. Pertama, agama sering disosialisasi dalam bentuk ritual semata. Sejak kecil kita belajar shalat, menghafal bacaan dan belajar gerakannya. Yang kita lupakan cuma satu, yakni: kita tak pernah diajarkan mengenai mengapa kita harus shalat. Hal yang sama juga terjadi pada anak saya yang sekarang sedang duduk di sekolah dasar.
Kedua, agama sering diartikan sebagai sebuah ”kewajiban” yang bila melakukannya akan diganjar pahala dan surga, sedangkan mengabaikannya akan diganjar dosa dan neraka. Padahal kata ”kewajiban” sering pula bernuansa buruk. Kewajiban memberikan konotasi paksaan kepada orang untuk melakukannya. Kewajiban bersifat outside-in (dari luar ke dalam). Ini berbeda dari kebutuhan yang bersifat inside-out (dari dalam ke luar).
Padahal perubahan perilaku jauh lebih mudah pada sesuatu yang bersifat inside-out. Dalam inside-out orang melakukan sesuatu karena kesadaran. Dorongan terhadap hal ini berasal dari dalam. Selama agama masih dianggap sebagai kewajiban bukannya kebutuhan, akan sangat sulitlah untuk berharap bahwa agama bisa mengubah perilaku.
Kewajiban juga acap kali menjauhkan kita dari kenikmatan. Bayangkan seorang istri yang mengatakan bahwa ia melayani suaminya sebagai kewajiban. Menurut Anda, apakah wanita ini menikmati hubungan dengan suaminya? Saya yakin tidak.
Ketiga, agama sering ditafsirkan sebagai urusan kita dengan Tuhan. Padahal esensi agama adalah kasih. Bahkan saya berani mengatakan bahwa tanpa kasih tak ada gunanya kita beragama. Bukankah Tuhan adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Bukankah dalam agama mana pun senantiasa dikatakan, ”belum beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”?
Karena itu, orang beragama mestinya dikenal karena rasa cintanya kepada sesama manusia. Sayangnya hal ini sering terlupakan. Saya ingat pengalaman saya bersekolah di sebuah sekolah swasta Islam terkemuka di Jakarta awal 1980-an. Ketika itu porsi pelajaran agama di sekolah negeri adalah dua jam pelajaran per minggu. Sekolah saya jauh lebih maju karena pelajaran agamanya 8 jam. Namanya pun bukan pelajaran agama, tetapi langsung menggunakan nama yang spesifik: Tauhid, Fiqih, Tarikh Islam, dan Bahasa Arab. Namun sayangnya ada satu hal yang tidak diajarkan: Akhlaq (Budi Pekerti).
Bahkan kalau pun ada pendidikan budi pekerti di sekolah, pendidikan itu lebih sering bermuatan pengetahuan (knowledge). Padahal perubahan perilaku lebih ditentukan oleh kesadaran ketimbang pengetahuan. Siapa pun tahu bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Akan tetapi, cukupkah pengetahuan itu membuat orang berhenti merokok? Tentu saja tidak.
taken from : SWA
Labels: Arvan Pradiansyah |
posted by .:: me ::. @ 12:30:00 PM
|
|
|
Dua Buah Kutub |
<$BlogDateHeaderDate$>
|
Saat kembali ke kota kelahiran, saya menyempatkan diri untuk berjumpa dengan beberapa kawan lama diantaranya adalah dua bersaudara yang salah satunya berada di panti rehabilitasi narkoba sedangkan saudara lainnya adalah seorang pengusaha otomotif yang terbilang sukses. Diantara kawan-kawan seumur, hal ini sering menjadi bahan pergunjingan mengapa dua bersaudara yang berasal dari orang tua yang sama, dibesarkan dalam lingkungan yang sama, dapat menjadi sangat berbeda.
Kunjungan saya ke panti rehabilitasi dimana kawan saya itu berada cukup membuat dia terhibur. Dalam salah satu perbincangan dia menjawab pertanyaan klise saya ”Ya, semua ini gara-gara Ayah saya” Dengan lirih dia meneruskan ucapannya ”Ayah saya seorang pemabuk dan penjudi, keluarga saya bangkrut dan berantakan, dia hanya memikirkan dirinya sendiri, sama sekali tak pernah memikirkan saya” Masih tertunduk lesu dan katanya lagi ”Apa yang bisa diharapkan dari saya hasil dari sebuah keluarga yang berantakan ini?”
Sehari sebelum kembali ke Jakarta, saya masih sempat menemui saudaranya yang siang itu berada di show-room-nya yang cukup besar dengan aneka mobil terpajang.
Ditengah kegembiraan karena lama tidak berjumpa, salah satu pembicaraan kami adalah tentang saudaranya yang ada di panti rehabilitasi narkoba. Pertanyaan spontan pun mengalir dari bibir saya ”Apa yang membuat kamu berbeda dengan saudaramu dan bisa sukses seperti sekarang ini?” Nampak dia menghela nafas kemudian dia berkata ”Sudah terlalu banyak penderitaan dalam kehidupan saya dan keluarga kami, saya hanya bertekad untuk mengakhirinya” ”Saya benar-benar tidak ingin bernasib seperti Ayah saya dan ingin membahagiakan Ibuku, itulah tekad saya selama ini”
Keduanya mendapatkan kekuatan dan motivasi dari sumber yang sama, bedanya adalah yang seorang memanfaatkannya secara positif, dan seorang lainnya menggunakannya secara negatif.
”Mereka yang positif tak peduli segelap apapun keadaannya, kepalanya selalu tegak serta menengadah melihat semua kemungkinan dan semua itu ada dihadapannya.”
:: andrie wongso ::
Labels: Andrie Wongso |
posted by .:: me ::. @ 5:15:00 PM
|
|
|
|
:: My Profile :: |
... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...
Join me on
Friendster!
|
:: Wisdom :: |
|
:: Recent Post :: |
|
:: Archives :: |
|
:: Menu :: |
|
:: LETTO Fans Blog :: |
|
:: NIDJIholic Blog :: |
Click Slide Show
|
:: Friends :: |
|
:: Games :: |
| |