:: Sponsored ::


:: Statistic ::


Web Page Counter
Since 25.01.2006
Since 17.Aug.2005

visitor online

:: MP3 Player ::
Tam's MP3 Player
:: Tam's IndoHitz ::
:: Quotation ::
:: Blog Map ::
My Location
:: The Story ::


Kisah Sebuah Pot
<$BlogDateHeaderDate$>
Seorang ayah mempunyai pohon bonsai kesayangan yang ditanam dalam sebuah pot.
Si ayah tersebut begitu sayangnya dengan bonsai itu dan rajin merawatnya.
Setiap hari dia menyirami tanaman tersebut.

Suatu ketika si ayah jatuh sakit, maka dia memanggil anaknya.
Nak, tolong sirami pohon di pot itu,” katanya.
Si anak menuruti pesan ayahnya.
Dia menyirami tanaman dalam pot itu.
Ketika si ayah kembali sehat, maka pohon itu kembali disiram si ayah.
Hingga tibalah umur si ayah, maka ketika menjelang ajal dia berpesan kepada anaknya, “Ayah titip kau rawat tanaman itu.”
Lalu meninggallah si ayah.
Si anak melanjutkan pesan itu dengan baik. Setiap hari dia menyirami tanaman di pot itu.

Waktu berlalu, suatu ketika si anak kemudian menjadi seorang ayah.
Dia memiliki seorang anak. Setiap hari si anak melihat ayahnya menyirami pot.
Tak lama kemudian meninggal juga si ayah ini meninggalkan seorang anak yang berbakti. Setelah ayahnya meninggal, si anak ini ingat bahwa ayahnya sering menyirami tanaman di pot itu. Maka dia melanjutkan dengan terus menyiram tanaman di pot tersebut.

Lalu si anak tumbuh dan menjadi seorang ayah. Dia memiliki anak.
Ketika menjelang ajal si ayah berpesan kepada anaknya, “Nak, kakekmu dulu mewariskan pot itu. Beliau amat menyayanginya. Tolong kamu rawat dengan menyiraminya setiap hari.” Lalu si ayah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak yang berbakti.
Sayang, suatu ketika si anak pergi keluar kota cukup lama.
Ketika kembali pulang, tanaman di pot itu telah mati sehingga daunnya berguguran dan tinggal hanya seonggok tunggul batang kering.
Namun si anak ini tetap mengingat pesan ayahnya, maka dia sirami tunggul batang kering itu setiap hari.

Si anak kemudian menjadi seorang ayah.
Dia memiliki anak yang berbakti.
Dia melanjutkan pesan ayahnya dulu kepada anaknya, “Nak, kakekmu mewasiatkan agar kita menjaga pot ini. Siramlah setiap hari.”
Lalu tibalah ajalnya, dan anak yang berbakti itu melanjutkan menyiram pot itu.
Setelah lama waktu berjalan, tunggul pohon mati dalam pot itupun lapuk dan akhirnya musnah. Tinggallah pot itu tanpa tanaman.

Si anak kini telah menjadi seorang ayah.
Dia memiliki seorang anak yang berbakti.
Ketika si ayah ingat pesan bapaknya dulu, maka dia mewasiatkannya kembali kepada anaknya, “Nak, kakekmu pernah berpesan, kita harus merawat pot ini dengan menyiraminya setiap hari.”
Ketika ajal si ayah telah tiba, si anak melaksanakan wasiat ayahnya dengan penuh kekhusyukan.
Akhirnya dari generasi ke generasi, keluarga itu terus mewariskan tradisi menyiram pot keramat itu.

Sound familiar?

Itulah yang terjadi ketika sebuah masyarakat mewariskan agama, tradisi, dan pendidikan-pendidikan tanpa menjelaskan kembali esensi dari hal yang diwariskan.
Yang akhirnya dilakukan adalah menjalani ritual menyiram pot.
Mereka tidak tahu bahwa menyiram pot hanya berguna bila di dalamnya ada pohon.
Mereka mungkin tidak tahu, tidak ingin tahu, atau bahkan tidak peduli….
posted by .:: me ::. @ 12:57:00 PM   0 comments

Kepemimpinan Basis Spiritualitas Universal dari "Good" Menjadi "Great"
Belakangan ini bermunculan buku-buku berparadigma baru mengenai kepemimpinan. Di antaranya yang paling terkenal adalah buku karya Stephen R Covey, "The 8th Habit", yang menegaskan bahwa kepemimpinan sekarang ini tidak cukup hanya "menjadi efektif", karena menjadi efektif sebagai pemimpin adalah sebuah keharusan dan bayaran di zaman penuh kompetisi global.

Buku Nanang Qosim Yusuf ini merupakan buku jenis kepemimpinan baru dengan basis spiritualitas universal, sejalan dengan basis inner voice- nya jenis buku-buku kepemimpinan. Nizami dalam buku syair Sufinya Haft Paikar (Tujuh Jelita) mengatakan, "Jika dengan betul kau baca dirimu sebagai naskah, kau akan kekal. Ruh itu kebenaran, yang lain dusta." Begitulah buku jenis ini. Buku ini dalah buku yang berdasarkan kebenaran universal, yang mengembangkan kepemimpinan dari panggilan "suara paling dalam".

Orang-orang seperti Mahatma Gandhi, Ibu Theresa, dan Nelson Mandela adalah contoh pemimpin dalam zaman kita yang memimpin dengan inner voice. Istilah buku ini memimpin dengan cinta. Buku yang dalam tiga bulan ini menjadi pembicaraan luas banyak bicara mengenai kepemimpinan berdasarkan cinta. Kalau spiritualitas, membicarakan mengenai cara-cara bagaimana jiwa manusia—dengan jalan cintanya itu—menyempurnakan tali hubungannya dengan Tuhan, dan peluang-peluang yang membolehkan jiwa melakukan pendakian ke alam ketuhanan. Dalam pendakian semacam ini, kepemimpinan mengembangkan gagasan bagaimana manusia yang adalah pemimpin itu menggapai awareness, kesadaran akan panggilan tertingginya sebagai pemimpin. Pendakian ini dilakukan melalui "tangga-tangga" perjalanan spiritualitas kepemimpinan.

Buku ini menjelaskan adanya tujuh tangga kesadaran dalam kepemimpinan. Teori Nanang mengenai tujuh tangga kesadaran kepemimpinan ini cocok sekali dengan teori perenial dari Fariduddin Attar, Musyawarah Burung (Manthiq al-Thayr), yang menyampaikan kisah perjalanan burung-burung mencari raja mereka, Simurg, secara menarik dan alegoris—sebuah ekspresi sastra yang memerlukan ketajaman intuitif untuk menangkap maknanya.
Attar lewat ekspresi Musyawarah Burung ini merumuskan ketujuh peringkat dan keadaan rohani tersebut sebagai: pertama, lembah pencarian (thalâb), sejalan dengan yang oleh Nanang sebut "Awareness of Thinking—Born to be King". Kedua, lembah cinta [Ilahi] (isyq), sejalan dengan "Awareness of Silence—Jika Kau Diam Tuhan pun Berbicara". Ketiga, lembah pemahaman atau pengenalan Tuhan (ma`rifah), sejalan dengan "Awareness of Succsess—The Power of Love". Keempat, lembah kepuasan rohani (istighrâq), sejalan dengan "Awareness of Soul—The Power of Soul: Kekuatan dari Sang Jiwa". Kelima, lembah kesatuan (tawhîd), sejalan dengan "Awareness of Wisdom—Air Kehidupan". Keenam, lembah ketakjuban (hayrah), sejalan dengan "Awareness of Vision—Tuhan Pun Bervisi". Dan, Ketujuh, lembah kefakiran dan kefanaan (faqr dan fanâ’,) sejalan dengan yang disebut Nanang "Awareness of Surrender—The Power of Zero, Kekuatan dari Keikhlasan".

Di sini Nanang Qosim Yusuf meyakinkan kita bahwa dalam mencapai "Yang Satu" itu, tingkat terakhir, "The Awareness of Surrender," seseorang tidak dapat melakukannya dengan usaha hanya secara intelektual semata.
Mendekati Tuhan secara intelektual tidak akan sampai pada makna hakiki. Makna hakiki juga tidak bisa dicapai hanya dengan perasaan kerinduan. Sebab, pengalaman Yang Ilahi ini harus dicapai dengan melibatkan seluruh proses rasionalitas dan kerohanian, yang mencakup penciptaan kembali pribadi-yang-semula (fitrah, kodrat dasar insani) secara lengkap—yang oleh Nanang disebut "Manusia di Atas Rata- rata"—yang akan menghasilkan pembebasan yang berhubungan dengan tercapainya bentuk-bentuk kesadaran baru, kesadaran transendental, yaitu penyatuan mistis dalam yang disebut buku ini "Pengalaman Zero".

Dalam ekspresi mistis (istilah buku ini, "diawali dan diakhiri oleh Zero"), kehendak disatukan dengan perasaan mendalam, hasrat yang berkobar untuk mentransendensikan alam indra (empiris) supaya "diri" bersatu dengan cinta menuju Yang Satu, Yang Ilahi; keberadaan yang secara intuitif diterima oleh jiwa secara transenden (kosmis). Buku jenis ini biasanya diperolehnya lewat pengalaman hati, yaitu sejenis intuisi batin atau wawasan yang tidak pernah salah. Ahli mistik mungkin berkata—mengikuti bahasa mistis St Bernard— "Rahasiaku untuk diriku sendiri". Namun, sebagai seniman, atau saudara Nanang sebagai trainer kepemimpinan, ia tak dapat berbuat demikian. Kepadanya telah diamanatkan kewajiban mengekspresikan segala yang telah dia peroleh. Dia terikat untuk menyatakan cintanya. Di dalam memuja keindahan Yang Maha Sempurna, keimanan—bagi penyair— harus diimbangi dengan karya yang mampu menampung kedalaman pengalaman.

Dengan menggunakan selubung dan simbol, dia harus menafsir pengalamannya sendiri kepada orang lain—menjadi segi ekspresi sebuah karya, seperti buku ini—sehingga buku seperti ini pun menjadi penghubung antara alam dunia ini dan alam hakikat.
Buku ini adalah hasil perenungan dan pengalaman makrifat (kedekatan dengan yang Ilahi), misalnya dalam memikirkan dan merenungkan wajah Kekasih Yang Maha Indah, yaitu Tuhan. Apabila Kekasih telah hadir dan menyingkap keindahan wajah-Nya, maka Taman Mawar Ilahi menjadi simbol seorang penyair yang mengalami makrifat itu dalam mengekspresikan kemabukan dan penyatuan mistik dengan Yang Ilahi.

Buku ini, seperti puisi para sufi yang berfungsi sebagai sarana ekspresi bagi kemabukan dan penyatuan mistik, dapat dipandang sebagai proyeksi untuk mengingat dan merindukan kesatuan (bersatunya manusia) dengan Kekasihnya (Tuhan).
Buku ini sangat penting karena mengajak kita ke jalan intuisi, jalan yang disebut Nanang sebagai a voyage to eternity, sebuah jalan intuisi dalam kepemimpinan. Jalan intuisi sekarang dianggap penting dalam kepemimpinan karena pertama, intuisi merupakan jalan tempat berpindah ke alam keabadian atau transenden. Kedua, buku-buku seperti ini, yang indah dan mendalam secara maknawinya, pada dasarnya ditulis setelah penulisnya melakukan penyucian diri, dengan meneguhkan terlebih dahulu kehendaknya sehingga cermin penglihatan (rohani)nya (kepekaan intuitifnya) menjadi terang. Ketiga, intuisi merupakan ekspresi dari pengalaman akan Yang Ilahi (pengalaman makrifat). Keempat, Nanang menyatakan bahwa keindahan wajah Tuhan (dalam penampakan metafisis-teofaniknya) dapat disaksikan di "medan yang qadîm" (medan-abadi) yang merujuk pada pengalaman primordial manusia yang tertanam dalam lubuk hati terdalam (kefitrahan).

Maka, buku ini dapat menjadi tangga naik menuju diri sejati— sebuah tangga kearifan yang sangat diperlukan seorang pemimpin. Sebuah syair menggambarkan sebuah kepemimpinan pelayanan. Buku Nanang ini berhasil memadukan pencapaian apa yang disebut Stephen R Covey, keagungan organisasi, keagungan kepemimpinan, dan keagungan pribadi. Pengalaman Nanang sebagai seorang trainer muda yang berbakat telah menjadikan buku ini berhasil mengolah ketiga hal tersebut. Karena keberhasilan dan daya tarik buku ini, tidak heran kalau hanya dalam satu bulan cetakan pertama buku ini telah habis diserap pasar.
Saya merekomendasikan Anda untuk membaca buku ini, untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan Anda, istilah Jim Collin dalam bukunya, Good To Great, dari good menjadi great!

(Oleh: Budhy Munawar-Rachman, Kompas)

posted by .:: me ::. @ 6:44:00 AM   3 comments

Orang Bijak
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh: Mohamad Sobary

Di hadapan istrinya, Presiden Franklin Delano Roosevelt pada suatu hari menerima seorang senator yang melaporkan suatu perkara kontroversial.

Sang Presiden mengangguk-angguk selama mendengarkan laporan tersebut, dengan sikap simpatik.
"Kau benar senator," jawabnya sesudah senator itu selesai melapor. "Ya, ya, kau benar."


Kemudian datang senator lain, yang juga melaporkan perkara tersebut, dengan sudut pandang dan cara penilaian sebaliknya.
Meskipun begitu, Sang Presiden tetap dengan sikap simpatik menjawab:
"Kau benar senator," katanya. "Kau benar...."


First Lady, yang tak sabar menyaksikan sikap suaminya, segera memprotes secara terus terang.
Baginya, kelihatannya kebenaran harus lebih diutamakan dalam menyikapi suatu persoalan dalam hidup, apa pun persoalan itu.
"Franklin, kau setuju pada kedua senator yang mengutarakan pandangan yang sangat bertentangan satu sama lain. Kau tidak boleh begitu."
Dan apa lagi jawab Sang Presiden kali ini? Dengan keteguhan hati seperti semula, ia menjawab:
"Kau benar sayang," katanya lembut. "Kau benar...."


Saya memperoleh cerita ini dari buku Mayor Jenderal Audrey Newman, "Ikuti Aku", seri I: Unsur Manusia Dalam Kepemimpinan.
Orang bijak memakai "topi" banyak.

Maksudnya ia berganti-ganti "topi", bukan untuk penyamaran, bukan pula tanda kemunafikan dan sikap mencla-mencle.
Topi, milik siapa pun, meneduhkan. Apalagi "topi" milik orang bijak: "topi" kearifan hidup.

Presiden Roosevelt bukan filsuf, bukan sufi, dan karena itu dunia juga tak mengenalnya sebagai orang bijak, tetapi jelas tak bisa diragukan, pada hari ketika menerima kedua senator itu ia bersikap sebagai orang bijak.
Seorang pemikir pluralis, yang melihat kompleksitas dunia, termasuk dunia pemikiran, yang rumit dan kompleks, sering memberi kita kesan bahwa sikapnya tak berpola, dan tak mengikuti logika suatu struktur pemikiran baku dan konvensional.

Ia memiliki logika yang tak lazimnya bagi banyak kalangan.

Mereka yang melihat dunia ini dengan kacamata hitam-putih, dengan logika benar-salah sesuai ajaran, terutama menurut kitab-kitab yang penafsirannya diseragamkan dan dibakukan oleh otoritas penafsir konvensional, yang menyembunyikan secara rapi kepentingan kelompok, kepentingan gender dan kepentingan pribadi, sering marah-marah melihat sikap pluralis macam itu.

Usaha memahami pilihan-pilihan cara menyelesaikan pertikaian dalam hidup, juga dalam urusan pemikiran, termasuk keagamaan, sering tak dapat disandarkan pada kebenaran sebagai ukuran tunggal.
Tak jarang, di sana kebenaran justru menambah sengketa makin parah.
Maka, bukan kebenaran yang kita butuhkan, melainkan "wisdom".

Hidup membutuhkan sikap bijak dan orang-orang bijak agar banyak kebenaran yang bertingkat-tingkat, dan berwarna-warni, bisa hidup berdampingan dengan nyaman, dan memberi banyak kalangan kekayaan khazanah cara memahami dan mengolah hidup kita.

Kita sudah lama merdeka, tapi kita tak memerdekakan orang lain untuk berpikir berbeda.

Kita memberi kesempatan otonomi daerah dalam pemerintahan, tapi bagaimana otonomi bisa berjalan baik kalau otonomi pemikiran diharamkan, dan segala peraturan, termasuk peraturan daerah, diseragamkan?
Orang bijak memiliki banyak tingkatan pemahaman akan kebenaran dan punya banyak jawaban atas satu pertanyaan, tapi orang "teknis" selalu mengira satu pertanyaan hanya memiliki satu jawaban.

Lautan hidup yang dalam diukur hanya dengan meteran.

Kita lupa bahwa kompleksitas dan kedalaman hidup, dengan segenap misterinya, bukanlah urusan matematika.
Selain ukuran-ukuran serba pasti: kebijakan publik, hukum, peraturan, dan logika matematika, hidup juga membutuhkan jernihnya hati dan spiritualitas yang mengalir langsung dari sumbernya: cahaya Tuhan.

Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri pun pernah kelihatan keliru jika tindakan beliau dilihat dari segi hukum (fikih) semata, ketika suatu sore, menjelang magrib, sesudah selesai acara jamuan makan, mewajibkan semua orang berwudu kembali tanpa menimbang mereka yang sebetulnya masih dalam posisi suci karena terjaga air wudu.
Apa sebabnya?

Hari itu ada salah seorang sahabat yang, maaf, kentut, dan baunya tercium Nabi maupun sahabat-sahabat lain.
Perbuatan itu pasti tak disengaja.
Dan karena itu bisa sangat memalukan.
Ini suatu aib, yang justru terjadi di hadapan Kanjeng Nabi yang mulia.
Maka, sekali lagi, beliau mewajibkan semua pihak berwudu lagi.

Sehabis makan, kali ini sebaiknya kita berwudu lagi, katanya.
Dengan begitu, siapa yang tadi, maaf lagi, kentut, tak ketahuan, dan yang bersangkutan tak merasa malu di depan umum.
Nabi, kepala negara, pemimpin kehidupan, turun tangan mengurus perkara sekecil itu. Kecil? Harga diri, dan rasa malu, karena aib terbuka, dianggap kecil?

Bagi etika kenabian, ini urusan besar.

Orang bijak tak bisa membiarkan orang lain malu.
Apalagi celaka. Nabi tahu, kalau Tuhan mau membeberkan aib dalam diri setiap orang, dan orang yang kelihatan terhormat dan mulia pun aib-aibnya dibeberkan, maka habislah riwayat setiap umat manusia, karena tiap orang memiliki aib dirinya, yang melekat dalam sejarah hidupnya.
Kita, umat Nabi, yang memuliakannya, dan mengaku taat akan semua ajarannya, dan siap sedia mencontoh segenap tindakan dan perilakunya.

Tapi mengapa banyak sekali di antara kita selalu sibuk menelusuri kekurangan dan aib orang lain, untuk dibeberkan kepada publik, untuk menjatuhkannya, dan menghancurkan namanya?

Bumi Sidoarjo kentut, dan saking kuatnya, mengalirlah dari perutnya lahar yang siap menghabiskan kehidupan manusia seisi kota.
Urusannya sangat jelas: kentut itu bukan hanya membuat malu, melainkan mengancam kelangsungan hidup manusia.
Tapi mengapa tak ada di antara kita "nabi" dan sikap "ke-nabian" yang rela turun tangan untuk menunjukkan kepada publik bahwa kita bertanggung jawab?


Apa membunuh banyak orang tak membuat kita malu?
Mencelakai orang menjadi perkara lumrah, dan tak harus diurus?
Negara tak usah mengurus perkara malu karena mungkin kita tak punya malu.
Tapi negara wajib mengurus tanggung jawab publik atas suatu peristiwa yang mengancam keselamatan umat manusia.
Tak adanya tindakan apa pun yang kita harapkan ini membuat saya harus tahu, bahwa orang bijak, apalagi sebijak Nabi, mahal sekali.


Orang bijak tak ada lagi di negeri ini.

Sumber: Asal Usul Kompas, 26.08.06
posted by .:: me ::. @ 7:15:00 AM   0 comments

It' s All Small Stuff!'
<$BlogDateHeaderDate$>
Oleh: Arvan Pradiansyah

Pada suatu pagi yang cerah. Anda sedang mengemudikan kendaraan sambil menikmati lagu kesayangan Anda. Tiba-tiba, sebuah mobil yang berlari dengan kecepatan tinggi menyalib Anda. Anda terkejut bukan kepalang. Masih untung Anda terhindar dari kecelakaan. Langsung saja Anda membunyikan klakson sekeras-kerasnya sambil mengejar mobil tersebut. Tanpa diduga mobil tadi berhenti. Orangnya pun menghampiri Anda dan memaki Anda dengan kata-kata yang tak senonoh.

Bayangkan kalau Anda menghadapi situasi semacam itu. Apa yang akan terjadi? Apa yang akan Anda lakukan sesampai di kantor? Mungkin Anda akan menceritakan kejadian tadi pada teman-teman Anda. Lalu seharian Anda diliputi perasaan marah. Masih belum puas, sore harinya Anda mendiskusikan masalah itu dengan keluarga di rumah.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah masalah besarkah? Mungkin ya, kalau Anda celaka, tapi kini Anda selamat dan sehat wal afiat. Yang Anda hadapi adalah masalah kecil. Persoalannya, Anda memperlakukannya sebagai masalah besar, yang begitu menyita perhatian dan menguras energi dan waktu produktif Anda.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak sekali hal-hal yang kita risaukan yang setelah kita amati lebih jauh ternyata bukan masalah besar. Di kantor kita bekerja dengan atasan yang otoriter dan mau menang sendiri, mendapatkan perlakuan kurang adil, memperoleh kritikan yang tak pada tempatnya, digunjingkan orang, dimaki-maki pelanggan serta menghadiri berbagai rapat yang tak penting.

Di rumah kita berurusan dengan tagihan listrik dan telepon yang terus naik, harga-harga yang membumbung tinggi, dompet yang hilang, mobil yang tergores, kaki yang terkilir, pasangan yang tak mau mengerti, dan anak-anak yang sering bertengkar. Hidup ini rasanya sumpek sekali.

Tahukah Anda siapa yang telah membuat Anda merasa begitu stres dan tertekan? Masalah-masalah itu? Bukan. Sama sekali bukan. Penyebab stres adalah diri Anda sendiri. Jangan lupa, tak ada sesuatu pun yang dapat menyakiti Anda tanpa ijin Anda sendiri. Anda lah yang membuat sumpek. Persoalannya, Anda menganggap hal-hal tadi sebagai masalah besar. Padahal semua itu hanyalah hal kecil yang tak perlu dirisaukan.

Salah satu cara yang efektif untuk mengetahui apakah sesuatu itu hal yang besar atau kecil adalah dengan menanyakan pada diri Anda sendiri, ''Apakah aku masih mempedulikan peristiwa ini setahun dari sekarang?'' Saya yakin kebanyakan kita akan mengatakan ''Tidak!''

Saya pernah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari atasan. Ia tak mengijinkan saya mengikuti sebuah seminar yang penting. Waktu saya tanyakan alasannya ia malah membeberkan ''daftar dosa'' saya. Tentunya menurut versinya sendiri. Intinya, saya tidak diijinkan ikut.

Beberapa hari saya merasa sangat marah karena perlakuan tersebut. Namun setahun kemudian, setelah mengundurkan diri dari perusahaan itu saya sering menertawakan ''kebodohan'' saya. Kenapa harus marah, peristiwa tersebut adalah hal kecil dan tak penting.

Mengurusi hal-hal kecil dapat membuat kita kehilangan perspektif terhadap hal-hal besar. Banyak orang yang menjalani kesibukan tanpa henti yang membuat mereka lupa akan misi mereka sebenarnya di dunia ini. Mereka baru sadar tentang hal-hal besar sesaat sebelum meninggal dunia.

Pada detik-detik terakhir nanti apakah Anda akan mengatakan, ''Saya ingin melewatkan waktu lebih banyak lagi di kantor.'' Ataukah, ''Saya ingin melewatkan waktu lebih banyak dengan keluarga, menikmati saat-saat indah, dan menyaksikan anak-anak saya tumbuh dari hari ke har.'' Saya yakin Anda semua memilih jawaban yang kedua.

Musisi John Lennon pernah berkata, ''Hidup adalah apa yang terjadi ketika kita sedang sibuk membuat rencana lain.'' Ketika kita sibuk membuat ''rencana lain,'' anak-anak kita akan menjadi dewasa, orang-orang yang kita cintai menjadi tua dan kemudian pergi, tubuh kita kehilangan bentuk dan impian-impian kita berlalu.

Ukuran kesuksesan Anda bukanlah ditentukan pada saat Anda hidup atau mencapai puncak karir. Ukuran kesuksesan baru dapat dilihat pada saat Anda meninggal. Bagaimana Anda memanfaatkan hidup Anda, apakah untuk hal-hal besar yang berkaitan dengan kebahagiaan Anda dan orang banyak, atau kah hanya untuk mengurusi hal-hal kecil yang terlalu remeh untuk sekedar diingat dan dikenang?

Anda akan memperoleh pencerahan kalau dapat melihat sesuatu yang sama dengan cara pandang yang baru. Mulailah melihat dalam kerangka yang lebih luas, Anda akan merasa tenang dan damai, karena tak lagi meributkan hal-hal yang kecil. Bahkan dalam perspektif yang lebih arif dan lebih holistik lagi, semua hal yang ada di dunia ini adalah hal kecil.

Apapun, bahkan milik Anda yang paling berharga dapat hilang begitu saja. Lantas kalau Anda kehilangan semua itu apakah hidup Anda menjadi tidak berarti? Tentu saja tidak! Jadi inilah aturan terpenting dalam hidup: Itu semua hal yang kecil. It's All Small Stuff!

Labels:

posted by .:: me ::. @ 5:57:00 PM   0 comments

Memancing Kepiting
<$BlogDateHeaderDate$>
Beberapa tahun yang lalu, saat saya pulang ke kampung halaman, teman saya disana mengajak saya memancing Kepiting. Bagaimana cara memancing Kepiting?

Kami menggunakan sebatang bambu, mengikatkan tali ke batang bambu itu, diujung lain tali itu kami mengikat sebuah batu kecil.

Lalu kami mengayun bambu agar batu di ujung tali terayun menuju Kepiting yang kami incar, kami mengganggu Kepiting itu dengan batu, menyentak dan menyentak agar Kepiting marah, dan kalau itu berhasil maka Kepiting itu akan 'menggigit' tali atau batu itu dengan geram, capitnya akan mencengkeram batu atau tali dengan kuat sehingga kami leluasa mengangkat bambu dengan ujung tali berisi seekor Kepiting gemuk yang sedang marah.

Kami tinggal mengayun perlahan bambu agar ujung talinya menuju sebuah wajan besar yang sudah kami isi dengan air mendidih karena di bawah wajan itu ada sebuah kompor dengan api yang sedang menyala.

Kami celupkan Kepiting yang sedang murka itu ke dalam wajan tersebut, seketika Kepiting melepaskan gigitan dan tubuhnya menjadi merah, tak lama kemudian kami bisa menikmati Kepiting Rebus yang sangat lezat.

Kepiting itu menjadi korban santapan kami karena kemarahannya, karena kegeramannya atas gangguan yang kami lakukan melalui sebatang bambu, seutas tali dan sebuah batu kecil.

Kita sering sekali melihat banyak orang jatuh dalam kesulitan, menghadapi masalah, kehilangan peluang, kehilangan jabatan, bahkan kehilangan segalanya karena : MARAH .

Jadi kalau anda menghadapi gangguan, baik itu batu kecil atau batu besar, hadapilah dengan bijak, redam kemarahan sebisa mungkin, lakukan penundaan dua tiga detik dengan menarik napas panjang, kalau perlu pergilah ke kamar kecil, cuci muka atau basuhlah tangan dengan air dingin, agar murka anda mereda dan anda terlepas dari ancaman wajan panas yang bisa menghancurkan masa depan anda.

Ingatlah : Bahwa hari esok yang akan anda hadapi di tentukan dari sikap anda hari ini.


(unknown)

posted by .:: me ::. @ 12:25:00 PM   0 comments

Tindakan Kecil Tidak Dikenal (Gede Prama)
<$BlogDateHeaderDate$>
Di kota Liverpool Inggris, tempat John Lennon melahirkan kelompok musik yang pernah merubah sejarah dunia, saya pernah mengalami sebuah pengalaman kemanusiaan yang amat menyentuh. Setelah antre cukup lama di kantor imigrasi, guna memperpanjang visa isteri saya, lebih-lebih setelah mendengar orang di antrean depan ditanya dan dimaki sana-sini, hati ini sempat kecut juga. Belum lagi ditambah dengan stok tiket return yang batasnya hari itu juga. Plus tidak ada uang untuk menyewa hotel kalau terpaksa menginap.
Begitu cekaknya keuangan, bekalpun membawa dari kota Lancaster yang berjarak sekitar empat jam perjalanan kereta api. Sesampai di depan petugas, saya terangkan maksud kedatangan saya.

Ketika petugas tahu, bahwa visa yang mau diperpanjang adalah visa isteri, ia bertanya apakah saya membawa akte pernikahan. Busyet, saya lupa membawanya. Kalaupun saya bawa, pasti ia tidak mengerti karena dalam bahasa melayu.

Saya sudah siap-siap mental dimaki sebagaimana orang Pakistan di depan, atau disuruh kembali lain waktu. Tiba-tiba saja saya ingat lagu John Lennon yang berjudul Imagine, yang bertutur mengenai mimpi John tentang kehidupan manusia yang tanpa agama, bangsa dan atribut lain yang memisahkan.

Di tengah lamunan akan John Lennon tadi, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara petugas imigrasi yang menemukan kata Bali sebagai tempat lahir isteri saya di pasport. Dengan ekspresi yang amat bersahabat ia bertanya, di bagian mana dari Bali ia lahir, apakah kami sekeluarga senang tinggal di Inggris, dan sederetan pertanyaan yang sangat menghibur.

Ketika saya tanya balik, kenapa ia demikian bersahabat setelah tahu kami dari Bali, petugas tadi menceritakan pengalaman pribadinya yang pernah ditolong orang Bali, ketika mengalami kecelakaan saat berwisata di pulau dewata ini. Singkat cerita, semua urusan menjadi beres hanya karena ada kata Bali di pasport.

Mirip dengan pengalaman di Liverpool, di Manchester saya juga pernah diselamatkan nasib baik. Setelah menempuh penerbangan dari Paris yang melelahkan, saya ikuti saja antrean manusia yang ada di depan guna diperiksa imigrasi.
Setelah pegal berdiri setengah jam, dan akan memperoleh giliran bertatap muka dengan petugas imigrasi, baru saya tahu walau saya antre di tempat yang keliru. Sebagai warga Indonesia, saya antre di tempat yang ditujukan untuk warga masyarakat Eropa.
Padahal, pesawat berikut ke tempat lain mesti take off kurang dari sejam lagi.

Saya sudah pasrah, what will be, will be. Pertama-tama, tentu saja petugasnya cemberut melihat tampang saya. Lebih-lebih setelah melihat passport yang berisi gambar burung garuda. Namun, karena kesabaran petugas, dibuka juga itu passport sambil bertanya, di mana saya tinggal selama di Inggris.
Setelah saya jawab dengan sebutan desa Galgate di pinggiran kota kecil Lancaster, tiba-tiba wanita di depan saya wajahnya sumringah. Dengan akrab dia bercerita tempat lahirnya.
Penduduk desa kecil yang amat bersahabat. Buah apel yang bisa dipetik siapa saja oleh penduduk desa Galgate. Orang-orang tua jompo yang penuh senyum dan persahabatan tanpa pamrih dan masih banyak lagi yang lain. Dan, tiba-tiba saja petugas imigrasi ini minta saya menunggu sebentar, sementara ia pergi membawa passport saya ke counter lain.

Tidak lebih dari tiga menit, ia sudah mengembalikan passport saya lengkap dengan stempel imigrasi. Sambil berpesan : sampaikan salam kangen saya buat penduduk desa Galgate.

Boleh percaya boleh tidak, saya mengalami kejadian-kejadian seperti ini, dalam frekuensi yang cukup sering. Sejumlah rekan Tionghoa yang mengerti petunjuk hoki, menyebut saya manusia hoki karena bentuk hidung, telinga dan dagu yang cocok dengan ciri-ciri hoki. Sebagai manusia biasa, saya memang memiliki banyak kekurangan. Disebut sering suka cerita yang porno dan jorok. Suka 'ngompol' (ngomong politik).

Berteriak kalau lagi marah besar di rumah. Wika, Adi dan Suci adalah manusia-manusia yang paling tahu daftar kekurangan saya. Akan tetapi, sejak umur yang sangat kecil, saya dibiasakan oleh seorang kakak, untuk mengumpulkan daftar tindakan-tindakan kecil yang tidak bernama.
Tidak dikenal. Tidak dihitung. Namun, berguna buat alam dan orang lain.

Bukan pada tempatnya, kalau saya membeberkan daftar tindakan- tindakan saya di kolom ini.
Yang jelas, ada semacam kesegaran dalam jiwa, sesaat setelah melakukan tindakan-tindakan tidak dikenal dan tidak bernama.
Kepala yang pusing, tiba-tiba jadi membaik.
Kantong cekak yang membuat dahi berkerut, berubah menjadi ucapan terimakasih ke Tuhan.
Isteri yang tadinya kelihatan seram jadi lembut dan cantik.

Banyak hal bisa berubah setelah melakukan tindakan-tindakan model terakhir.

Saya tidak tahu, apa ini sebuah sugesti, atau ada tangan-tangan kekuatan alam yang membuatnya demikian.
Yang jelas, alam bisa demikian perkasa dan bertahan lama, karena bergerak dalam siklus memberi, memberi dan memberi.
Rumput hijau memberi kesejukan.

Matahari membawa energi.
Air menghadirkan kehidupan.
Adakah mereka membutuhkan imbalan lebih?

Belajar dari ini semua, saya berusaha untuk mematikan keran di tempat umum yang lupa ditutup orang lain.
Membukakan pintu ke orang lain yang tidak dikenal di lokasi-lokasi publik.
Mengembalikan posisi pohon yang roboh.
Mengubur kucing yang mati digilas mobil orang.

Bagaimana dengan Anda?

Oleh: Gede Prama

Labels:

posted by .:: me ::. @ 6:59:00 AM   0 comments

Hidup Bisa Seindah Ini Jika Kita Membuka Diri.
<$BlogDateHeaderDate$>
Manakala satu pintu tertutup, maka pintu lain akan terbuka. Namun kita kerapkali menutup pintu yang tertutup itu dengan penuh penyesalan sehingga tidak melihat pintu lain yang terbuka bagi kita (Alexander Graham Bell)

Kemampuan untuk mendengarkan dan menyimak letupan-letupan penting kehidupan di tengah suatu hari yang biasa, akan membawa kita kelangkah berikutnya dalam memperoleh akses pada kekayaan milik kita, membuka ruang di dalam hati kita bagi berkah-berkah tersebut. Saat kita mendengar suara-suara penegasan di sekitar kita, kita membuka diri sendiri untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran.

Seringkali kita menjadi begitu penuh dengan hal-hal duniawi dan lingkaran emosi statis dari apa yang seharusnya kita lakukan. Dengan membersihkan diri dari semua itu dan memperluas ruang-ruang dalam diri kit, kita membuka diri pada potensi perbaikan setiap hari.

Tiba-tiba sentuhan lembut tangan orang yang kita cintai, kelembutan seorang sahabat yang menyayangi kita, semangat diri kita sendiri, semuanya itu memiliki ruang di dalam kehidupan kita dan terkuak untuk penegasan kehidupan.

MENDENGARKAN adalah menyesuaikan diri kita dengan bagaimana indahnya kehidupan. Dengan membuka diri, kita membiarkan kebaikan itu mengalir masuk.

Ketika kita membuka hati kepada kekayaan yang didapat dari pengalama sehari-hari, kita mempelajari potensi di dalam diri kita. Dalam cara hidup yang penuh semangat dan tujuan, membuang kesalahan dan tuntutan terhadap manusia, kita membuka kekuatan pribadi dalam diri sendiri akan kesempatan-kesempatan yang kita miliki.

Biarkan keajaiban kreasi bertiup bebas melalui diri kita. Ciumlah hari dengan menyambutnya masuk ke dalam ruang yang telah kita ciptakan. Berkah itu ada pada saat membuka diri.

Di tempat yang telah kita buka dan dipenuhi makna itu, kita akan mendengar penegasan dari lama semesta.


posted by .:: me ::. @ 5:57:00 PM   0 comments

Taman Tempat Memendam Rindu (Gede Prama)
<$BlogDateHeaderDate$>
SETIAP kali ada pergeseran musim, terutama dari musim kemarau ke musim hujan, mendadak sontak ada kegembiraan yang muncul.
Setiap mata yang dibekali kejernihan, setiap telinga yang bersahabat dengan kepekaan, setiap rasa yang sering bersahabat dengan getaran-getaran semesta, melihat munculnya kegembiraan ketika musim hujan datang.
Kegembiraan ini memang tidak disertai oleh tepuk tangan, tidak diikuti suara musik, apalagi pemberian piala.
Sekali lagi, hampir tidak ada hiruk pikuk di sana.
Yang ada hanyalah ungkapan-ungkapan kegembiraan sebagai cermin rasa syukur yang mendalam.

Perhatikan pohon apa saja. Lengkap dengan akar, batang, daun, bunga sampai dengan buah.
Wajahnya berbeda ketika musim hujan datang.
Bahkan dibandingkan dengan pohon yang disiram tangan manusia tiga kali sehari pun, berbeda penampakannya.
Tidak saja daun dan bunganya yang bertambah banyak, melainkan kualitas ekspresi daun dan bunganya juga berbeda.
Tidak saja akar yang memeluk tanah yang tampak gembira, bahkan tanah tempat banyak sekali hal berasal juga seperti menampakkan wajah-wajah gembira.
Sehingga dalam totalitas, ketika musim hujan tiba, seperti ada yang bersuara di taman sana.

Ada yang menyebutnya suara rindu, ada yang mengiranya sebagai ungkapan rasa syukur, ada yang mengatakan kalau itu sebentuk perayaan.
Entahlah, yang jelas alam yang berumur jauh lebih panjang dari manusia sebenarnya menghadirkan makna jauh lebih banyak dari sekadar alasan keberadaan fisik manusia.
Memang benar, hampir semua input kehidupan manusia datang dari alam.
Makanan, minuman, dan bahkan pemikiran manusia pun sebagian lebih berasal atau terinspirasi dari alam.
Disinari cahaya-cahaya pemahaman seperti ini, ada sahabat yang berbisik: alam ada lebih dari sekadar alasan phisical survival.
Alam juga menjadi petunjuk jalan yang meyakinan ketika manusia mau pulang.
Tersentak oleh bisikan sahabat kejernihan terakhir, ada sepasang mata yang mencermati, bagian mana dari alam yang bisa menjadi petunjuk
jalan manusia untuk pulang.
Pohonkah, batukah, tanahkah, langitkah, matahari, atau malah binatang.
Karena semuanya memiliki bahasa yang berbeda dengan manusia, tentu saja semuanya tidak bisa memberi jawaban dalam bahasa manusia.
Sebagian lebih dari jejaring semesta bahkan hanya mengenal bahasa hening dan diam tanpa penghakiman.
Seperti mau berbisik: hening dan diam tanpa penghakiman itulah jalan-jalan menghantar manusia pulang.

Ikhlas
Sebutlah guru kejernihan yang bernama pohon.
Ia tidak pernah berhenti berjalan dengan sebuah bahasa: ikhlas! Hujan datang, musim kering yang panas, tanah yang subur, tanah yang kerontang, bahkan di depan manusia yang mau menghabisi, atau bahkan di depan kematian pun
modalnya sama: ikhlas!
Bunga juga serupa. Begitu tugasnya menebar bau wangi selesai, ia layu kemudian jatuh ke tanah untuk melakukan tugas berikutnya sebagai pupuk. Air apalagi.
Sejauh apa pun jalan yang harus ia tempuh, tugasnya berjalan tetap ia lakukan sepenuh hati.
Lebih-lebih tanah yang kerap disebut Ibu Pertiwi.
Ia hanya mengenal sebuah bahasa: memberi. Tidak ada protes tentang hasil di sana, wacana, apalagi perlawanan.
Yang ada hanyalah ketekunan melakukan semua tugas-tugas kehidupan.
Sekali lagi seperti mau berbisik, lakukan tugas-tugas kehidupan dengan tekun.
Biarkan hasilnya ditentukan sepenuhnya oleh yang punya hidup.

Taman Kehidupan
Ini soal taman di pekarangan rumah, sebenarnya ada taman yang lebih besar dan megah: kehidupan.
Serupa dengan taman sebenarnya, kehidupan juga mengenal perubahan dan perayaan.
Perubahannya tidak perlu diceritakan karena sudah terlalu jelas.
Namun perayaannya, inilah bedanya dengan taman.
Taman melakukan perayaan hampir setiap hari di setiap perubahan.
Taman kehidupan manusia baru ada perayaan kalau perubahan 'sesuai' dengan kriteria-kriteria di kepala.
Taman tidak mengenal kompetisi, baik untuk alasan pertumbuhan ataupun alasan lain.
Tidak ada satu pun batang pohon yang sikut menyikut di taman.
Sedangkan taman kehidupan memerlukan kompetisi.
Terutama karena alasan pertumbuhan.
Seolah-olah tanpa kompetisi pasti tidak ada pertumbuhan.
Belajar dari taman kehidupan yang sudah mulai demikian panas dan sumpeknya oleh perang, konflik, permusuhan, dan perceraian.
Ada sahabat-sahabat di pojokan tertentu taman kehidupan berfikir lain: in the garden of mystics, there is no I, she or he. There is only we and
us. Seeing our selves as islands is the cause of our inability to find the fullest experience of life.
Setidaknya itu yang ditulis Wayne W. Dyer dalam Wisdom of The Ages.

Di taman kehidupan, memang tidak ada pulau. Yang ada hanyalah jejaring kebersatuan yang saling kait-mengait.
Siapa saja yang mendirikan pulau 'saya' di sana, ia pasti mengalami kesulitan untuk mengalami hidup yang penuh.
Persis seperti setetes air. Setetes air memang bisa melakukan hal yang teramat sedikit.
Jangankan menghanyutkan sesuatu, mengobati rasa haus pun jauh dari cukup.
Cuma, ketika setetes air tadi bersatu dengan samudera, ia memiliki kekuatan yang amat dahsyat.
Hal yang sama terjadi dalam setiap kehidupan yang menjadi satu dengan kebersatuan.
Ia sedahsyat samudera!
Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau ada yang menyebut taman kehidupan dengan sebutan taman tempat memendam rindu.
Rindunya setetes air bersatu dengan samudera.

Dalam bahasa Wayne W. Dyer: the single quality that defines mysticism is the idea of oneness. Ada sahabat yang pernah datang ke taman tempat memendam rindu?

Oleh Gede Prama

Labels:

posted by .:: me ::. @ 5:18:00 PM   0 comments

Semut Di Dalam Telinga
<$BlogDateHeaderDate$>
Ada seorang pekerja yang sedang bertugas di sebuah perusahaan. Suatu ketika, tanpa disengaja dia menginjak sarang semut hingga lantai dipenuhi kawanan semut, semut-semut yang tak terkira jumlahnya sampai merayap ke seluruh tubuhnya.

Sebentar kemudian, dia merasakan telinganya amat gatal, disangkanya semut-semut sudah merayap masuk ke telinganya, hingga dia memutuskan untuk berobat ke dokter.
Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa telinganya tidak dimasuki semut, tapi anehnya dia tetap bersikeras mengatakan telinganya terdapat semut. Banyak dokter telah dicari,
tapi hasilnya tetap sama.

Seorang temannya menganggap dia terlalu dilanda prasangka dan perasaan yang berlebihan, hingga menjadi penyakit psikis. Kalau betul demikian, tak ada gunanya mencari dolter, melainkan yang dibutuhkan adalah seorang psikiater.

Psikiater memeriksanya dengan teliti dan mengatakan positif, "Ada, memang ada. tapi sebelum semutnya dikeluarkan, harus terlebih dahulu disuntik." Lalu diapun merebahkan diri untuk disuntik dengan obat bius.

Dia tertidur pulas, saat mulai siuman, psikiater membunyikan beberapa batang perkakas medis di samping telinganya hngga berdesing, lalu menunjukkan dua ekor semut yang ditangkapnya dari sisi meja seraya berkata:" kini anda telah sembuh, semut itu telah saya keluarkan." Mendengar ini, si pasien amat bergembira dan mengucapkan terima kasih kepada psikiater.

** Telah dapat dibuktikan, bahwa dari kecurigaan akan melahirkan sosok mara.

Kalau sudah dilanda prasangka bagaimana mungkin bisa melahirkan kepercayaan diri?
Terlebih lebih kalau sudah mencurigai kebenaran hukum Tuhan, bagaimana mungkin dapat membina diri lagi?
posted by .:: me ::. @ 6:46:00 AM   0 comments
:: My Profile ::

... m.y.z.t.e.r.i.o.u.z ...
... click my profile ...
... please don't click ...




Join me on Friendster!

Chat 

With Me
:: Wisdom ::

When we succeed, we are thankful. When we fail, we are also thankful.
The happiness and wealth are in the thankful attitude itself.
[Saat sukses kita bersyukur. Saat gagalpun kita bersyukur.
Sesungguhnya kebagiaan dan kekayaan sejati ada pada rasa bersyukur.]"

Love and attention is power! If all us are willing to share love and attention towards people arounds us, then life will be happier and more meaningfull.
(Cinta dan perhatian adalah kekuatan! Jika setiap hari kita mau memberikan cinta dan perhatian kepada orang-orang di sekeliling kita hidup akan lebih bermakna).

Terkadang manusia terlebih dahulu tenggelam dalam keputusasaannya.
Dengan emosinya mereka mengatakan bahwa masalah yang mereka hadapi sangatlah berat.
Sesungguhnya jika mereka yakin dengan usaha mereka, niscaya Tuhan pasti menjawabnya.

Salah satu cara yang paling efektif untuk memperbaiki diri adalah dengan mengingat dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan.
Karena mungkin saja kesempitan yang dialami saat ini adalah buah dari kesalahan masa lalu dan kita belum memohonkan ampun kepada Allah.

The future is not a result of choices among alternative paths offered by the present, but a place that is created – created first in the mind and will, created next in activity.
The future is not some place we are going to, but one we are creating. The paths are not to be found, but made, and the activity of making them, changes both the maker and the destination.[John Schaar].
:: Recent Post ::
:: Archives ::
:: Menu ::
:: LETTO Fans Blog ::
:: NIDJIholic Blog ::

Click Slide Show
:: Friends ::
:: Games ::
:: Powered By ::

BLOGGER
2006, Ver. 4.0, Design by: Tamtomo~ Email: TamtomoMail~ Please Send Your Comment About Our Blog